Anja Asih

Oleh: Naswatul Zulfania Arinda Pasha

Namaku Arunika Senjani. Ibu hebatku memberi nama yang indah dan memiliki berbagai arti. Arunika dapat berarti merah, anugerah, kebahagiaan dan matahari. Sedangkan Senjani terinspirasi dari senja. Menurut ibu, aku adalah gadis pemberani yang dianugerahkan menjadi kebahagiaan yang bersinar dengan sinarku sendiri.

Panas terik siang hari ini tidak membuatku lelah untuk tetap pergi mencari lowongan pekerjaan. Sedari pagi aku sudah berkeliling namun belum kunjung dapat. Kontrak kerjaku telah habis sejak dua hari yang lalu, maka dari itu aku harus segera mencari pekerjaan baru. Aku bisa dibilang sebagai tulang punggung keluarga. Ayahku meninggal dua tahun yang lalu dan aku sangat merindukannya. Uang di saku celanaku hanya tersisa 50 ribu saja, itupun akan aku habiskan untuk membelikan obat ibu saat pulang nanti. Tidak apa-apa, aku masih kuat menahan lapar. Semenjak kehilangan ayah, ibu menjadi sering sakit-sakitan.

Matahari sebentar lagi tenggelam, menunjukkan pergantian siang ke malam. Aku memutuskan untuk pulang, kebetulan adikku juga baru sampai rumah. “Loh, kok baru pulang jam segini?” tanyaku sembari melepas sepatu. “Ah iya kak, tadi belajar dulu di perpustakaan sekolah. Alhamdulillah kak, donatnya laris manis nanti minta tolong bantuin aku buat donat yang banyak, ya, karena guru-guru tadi banyak yang pesan.” Aku memandangnya dengan pandangan salut sambil mengelus pundaknya. “Kakak minta maaf ya jadi merepotkan kamu, mungkin kamu malu karena jualan di sekolah,” ucapku dengan hati-hati. “Kak, jangan begitu. Ini kan jualannya halal, itung-itung bisa buat tabungan bayar SPP. Nggak malu kok kak, aku malah suka bantuin kakak. Udah dulu ya kak, mau mandi.” Adikku segera beranjak dan masuk kedalam rumah. Tanpa disadari aku menangis, betapa bersyukurnya aku mempunyai adik sepertinya. Namanya Janu Sagara, bagus kan? Dia pintar, suka membaca buku dan selalu dapat ranking setiap naik kelas. Lamunanku terhenti ketika ibu tiba-tiba ada di depanku “Nak, kok nggak masuk? Di luar dingin, ayo masuk dulu!” sontak aku mengusap air mata di pipiku, harapannya ibu tidak berpikir aku habis menangis. “Eh ibu, udah enakan belum? Arunika tadi beli obat buat ibu.” ucapku sembari mengambil satu kresek obat di dalam tasku. “Nak, memangnya kamu masih ada uang pegangan? Ibu tidak apa-apa kok, hanya masih sedikit pusing.” Pertanyaan ibu tersebut membuatku tersenyum kecil. “Ada kok, tadi juga sudah makan pecel di warung Bu Heni.”

Malam hari ini terasa begitu sunyi, udara dingin menyelimuti seluruh badan. Kakiku melangkah menuju supermarket dekat rumah. Perutku yang kini berbunyi mengingatkanku saat berbohong pada ibu bahwa aku sudah makan pecel di warung Bu Heni. Padahal kenyataannya sisa uangku habis untuk membelikan obat ibu. Setelah sampai di supermarket, aku mengambil beberapa bahan yang dibutuhkan untuk membuat donat lalu membayar ke kasir. “Loh? Gauri kamu kerja disini?” tanyaku kepada kasir yang ternyata adalah teman kelasku semasa SMP. “Lama tidak bertemu ya Arunika, gimana kabarnya? Baru kemarin aku mulai kerja disini.” jawabnya sembari memindai barang belanjaanku. “Emm… Lagi bingung nyari kerja nih hehe. Kamu sendiri gimana? Pantesan kemarin-kemarin kesini nggak pernah lihat kamu, eh kok makin cantik aja.” tanyaku kali ini sembari cekikikan. “Ih kamu bisa aja. Kabarku baik kok, lagi mencoba adaptasi kerja disini. Oh ya baru ingat, kebetulan pamanku masih buka lowongan kerja di resto nya. Tawarannya aku tolak karena nggak minat, jadinya kemarin lebih milih di supermarket ini. Gimana mau nggak?” Senyumku melebar mendengar tutur Gauri, tanpa berlama-lama aku menyetujuinya. Gauri memberikan alamat yang harus aku datangi besok untuk mengirim CV dan wawancara. Aku menerimanya dengan senang hati dan tidak lupa berterimakasih kepada Gauri. Sebelum berpamitan, aku membayar barang belanjaanku tadi. Uang belanja ini sebenarnya adalah hasil jualan adikku tadi, sisanya ditabung untuk SPP.

Hampir saja aku bangun kesiangan karena semalam lembur membuat donat. Aku bergegas mandi dan bersiap-siap. “Nak, sebelum berangkat sarapan dulu ya. Ibu tadi beli roti goreng, maaf ya soalnya ibu belum ada uang untuk beli beras.” ucap ibu dengan senyum manisnya. “Sudah bu, ibu saja yang makan ya. Setelah itu diminum obatnya. Arunika nggak lapar, nanti sore adik udah aku titipin pesan buat beli nasi uduk buat kita makan bersama.” Lagi-lagi aku berbohong kepada ibu, nyatanya aku tengah berangkat ke alamat yang dituju Gauri kemarin dengan badan yang kurang bertenaga. Sesampainya disana aku bertemu dengan orang yang disebut Gauri sebagai pamannya. “Arunika ya? Gauri kemarin menunjukkan foto kalian saat masih duduk di SMP, ternyata rupa kamu nggak jauh beda makanya saya kira kamu temannya.” Sontak aku mengiyakan dan menunjukkan KTP ku. “Tebakan saya benar juga, ngomong-ngomong kamu sakit? Muka kamu kelihatan sedikit pucat soalnya.” Aku terkejut mendengar pertanyaan tersebut, tidak mengira ada yang paham kalau aku kurang enak badan. “Emm.. saya tidak apa-apa pak, mungkin karena kemarin tidur terlalu larut.” jawabku dengan senyum kikuk. “Ya sudah, kamu masuk kedalam resto dulu ya? Nanti saya menyusul setelah rekan saya datang.

Kebetulan yang berulang, sampai di rumah bersamaan dengan adikku. “Kak, hari ini katanya habis wawancara ya?” tanya adikku girang. “Bener, syukurlah kakak besok sudah bisa mulai bekerja.” aku memeluk adikku erat. “Ih, lepasin! Aku berkeringat ini.” Ibu datang dan menyapa kami berdua. Nasi uduk yang dibawa adikku hanya satu untuk kami makan bertiga. Tidak lupa dengan obrolan kecil dan teh hangat buatan ibu. Keluarga kecilku yang sederhana, mereka harus tahu betapa bersyukurnya aku lahir disini.

Esoknya aku berangkat dengan perasaan yang ceria bak dikelilingi oleh bunga warna-warni yang sangat indah. Semangatku tidak akan pudar walau sarapanku hanya sisa donat yang kemarin aku buat. Resto yang kudatangi kini adalah tempat baru yang harus aku buat senyaman mungkin. Sebelum mulai bekerja, aku dilatih terlebih dahulu oleh karyawan lama. Hingga waktu menunjukkan pukul delapan malam, waktunya aku kembali ke rumah. Seperti dugaanku, lingkungan kerja memang sekeras itu ya? Harus siap fisik dan mental. Di tempat kerja lamaku sudah terlatih seperti ini. Misalnya komunikasi antar karyawan lama dan karyawan baru terkadang masih sedikit pilih kasih. “Arunika, kamu wanita hebat kan? Kamu hadir untuk membahagiakan keluarga kamu. Selelah apapun kamu, aku mohon jangan menyerah ya? Kamu boleh setiap malam menangis tanpa ada seorang pun yang tahu. Pundakmu adalah sandaran dan harapan keluarga kamu. Masih ada hari esok yang harus diselesaikan, percayalah bahwa hal baik akan berbuah baik di kemudian hari.” begitulah monolog dalam hatiku saat dalam perjalanan pulang. Beruntungnya, jarak resto dan rumah tidak terlalu jauh. Aku masih sanggup berjalan kaki setiap hari.

“Kak, maaf membangunkan tidur larut malam. Aku lupa beritahu kakak kalau lusa terakhir bayar SPP. Tabungan yang aku simpan masih kurang setengahnya kak. Kakak tahu sendiri kan kalau aku menunggak bayar tiga kali. Ini pembayaran SPP terakhir kak, bulan depan aku sudah mulai ujian.” Betapa terkejutnya aku melihat adikku menangis. Aku duduk dan merengkuh adikku dalam pelukan hangat. “Juna, adik kakak satu-satunya yang paling kakak sayangi. Udah, jangan risau. Besok kakak carikan uangnya ya? Sekarang kamu cepat tidur biar besok pagi tidak mengantuk. Donatnya tadi kakak bikin hanya sedikit, soalnya bahan-bahannya sudah habis.”

Baru hari kedua bekerja, rasanya terlalu lancang untuk mengambil gaji terlalu awal. Tapi aku tidak ada pilihan lain, mau minta tolong kepada siapa lagi kalau bukan pamannya Gauri. Mau tidak mau aku harus mencobanya. Dengan mengumpulkan keberanian, aku menghadap paman Gauri dan menjelaskan apa tujuanku dari awal. Aku mengucap berkali-kali kata terima kasih karena beliau mau membantuku. Aku rela gaji awalku langsung habis demi sekolah adik semata wayangku. Dalam hati aku bergumam memohon agar dilancarkan segala rezeki orang-orang baik yang ada di sekitarku.

Satu bulan kemudian adalah hari kelulusan adikku. Dia menjadi lulusan terbaik di sekolahnya dan diterima di Universitas ternama. Betapa aku dan ibu sangat bangga atas prestasi yang diraih adikku. “Kak, aku mau nyari kerja ya?” aku yang sedang membuat adonan donat menoleh pada sumber suara. “Enggak, kamu kuliah aja.” jawabku lirih. “Aku mau bantuin kakak, kakak kira selama ini aku nggak tahu kakak sering nangis tiap malem. Kakak pasti capek, kalau aku kerja mungkin kakak dan ibu bisa makan nasi setiap hari. Lagian biaya kuliah nggak murah kak, aku nggak mau nambah beban kakak.” Setelah mendengar itu aku berhenti melanjutkan membuat donat dan berdiri di hadapan adikku yang sekarang tingginya semampai. “Dengerin kakak ya. Kakak nggak pernah sekalipun berpikir kalau kamu adalah beban buat kakak. Kakak mau kamu kuliah itu supaya hal yang sama nggak terulang kembali, dimana kakak disudutkan karena nggak lanjut kuliah. Mereka tidak tahu seberapa inginnya kakak untuk lanjut sekolah yang lebih tinggi, padahal waktu itu keadaannya sedang kacau. Ayah kita telah berpulang, ibu juga butuh uang pengobatan. Mental kakak waktu itu masih belum stabil. Kamu harus hidup lebih baik dari kakak, cukup kakak aja yang menderita. Percaya sama kakak, rezeki nggak akan tertukar. Selalu optimis, yang ditakdirkan untuk kamu tidak akan menjadi milik orang lain. Coba daftar beasiswa dulu ya? Jangan risau untuk hari esok, Tuhan tidak pernah tidur. Kalau ada kesempatan, kamu bisa kok kuliah sambil kerja.”

Hari pengumuman telah tiba, adikku menerima beasiswa di Universitas yang diimpikannya. Tangis haru pecah, penantian yang ditunggu-tunggu akhirnya bisa tercapai. Ketahuilah, mensyukuri hidup itu adalah sebuah anugerah terindah yang Tuhan berikan. Jangan malu untuk hidup sederhana karena bahagia bisa datang dari hal kecil. Percayalah bahwa rencana Tuhan akan selalu baik dan tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan kita. Kita bisa melewati apapun selagi kita tidak ragu untuk melangkah. Sampai jumpa di kehidupan yang lebih baik!

Note : Dalam bahasa sanskerta, Anja berarti berhasil, sukses dan tercapai. Sedangkan Asih adalah kasih sayang.

8 thoughts on “Anja Asih”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *