Kematian Akibat Pengkhianatan

Oleh: Robi’Atul Adawiyah

“Saat hari cerah seperti biasanya, canda ria tak ada resah. Kami melihat benda Ajaib melayang, namun seketika… dor! balonku tinggal empat kupegang erat-erat.”

Seorang gadis yang tengah berjalan itu bersenandung menyanyikan lagu tema salah satu kartun hari minggu yang tayang di salah satu stasiun televisi dengan disambung lagu anak-anak bertema balon. Ia melangkah dengan ringannya karena hari ini ia akan belajar salah satu mata kuliah favoritnya di program studi yang ia tempuh. Sesampainya di depan ruang kelas, ia melihat teman sekelasnya yang memang biasanya datang awal berada di luar kelas, tidak berada di dalam seperti biasanya.

“Kenapa pada di luar? Kelasnya masih dibersihkan?” tanya gadis itu pada mereka. “Kamu lihat sendiri aja deh,” jawab salah satu.

Gila. Rasanya jantung gadis itu pengen lompat turun ke lutut. Di dalam kelas tepatnya di bawah papan tulis, terbaring tubuh berlumuran darah. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya mayat itu seorang dosen, tapi kapan dan mengapa beliau dibunuh? Pasalnya sekarang baru jam enam lebih empat puluh menit, jika dosen itu dibunuh tadi malam siapa yang membunuhnya? Semua kegiatan di gedung bersama ini biasanya berakhir pukul lima sore, selepas jam itu semua orang dilarang berada di dalam gedung termasuk para pegawai entah satpam atau petugas kebersihan.

“Kok bisa dibunuh,” ujarnya sembari berjalan menghampiri tubuh tak bernyawa itu.

Tak lama setelahnya, sekelompok mahasiswa yang ia ketahui merupakan anggota BEM dan PMR masuk ke dalam ruang kelas. Sebenarnya ia juga tidak tahu, hanya asal menebak karena mereka langsung masuk dan ada yang memakai seragam PMR.

“Kamu pembunuhnya?” tuduh salah satu anggota BEM.

Astagfirullah, mbak mulutnya. Saya aja baru datang kok dituduh membunuh.”

“Terus kamu ngapain disini?”

“Saya penghuni kelas ini.”

“Setan?”

Sumpah, demi celana kotaknya Spongebob, ini anggota BEM mulutnya isi suudzon sama fitnah kah? Kok seperti pengen banget gitu disumpal pakai kaos kaki.

“Ya bukanlah, orang nampak gini kok dibilang setan. Saya tuh di sini mau lihat mayatnya, kan siapa tau saya jadi punya inspirasi buat bunuh orang juga.”

“Terus kamu dapat inspirasinya?” tanya salah seorang lain yang ia yakini ketua BEM. Yakin banget ini soalnya udah pernah lihat mukanya pas pemilihan dulu.

“Nggak sih, kak. Tapi aku menemukan petunjuk. Duluan ya, kelasku kayaknya pindah tempat karena penemuan menggemparkan ini.” Gadis itu kemudian berlalu, menyusul teman-temannya yang berada di lantai bawah.

ØØØ

Aurora Odelia Odysseus hanyalah gadis biasa dengan ketertarikan aneh. Dibandingkan berdandan, Aurora lebih suka membaca. Jika diberi pilihan genre film, dengan semangat ia akan memilih misteri dan thriller. Aurora juga tidak suka berbelanja atau jalan-jalan di mall, ia lebih suka menyendiri di pantai atau tidur seharian.

“Ngeri banget nggak sih kalo ternyata di kampus kita ada pembunuh? Kek bayangin aja gitu, nyawa kita bisa melayang kapan aja,” ujar teman sekelas Aurora, Nadin namanya.

“Iya astaga, gimana kalo pembunuh itu temen sekelas kita. Ih, ngeri banget.” ujar teman yang lainnya, namanya Sarah.

“Menurut lo gimana Ra?” Nadin bertanya pada Aurora yang sibuk melamun.

“Gue nggak paham deh motif pembunuhnya apa, tapi tadi gue nemu petunjuk tentang pelakunya.” jawab Aurora.

“Apa tuh Ra petunjuknya?”

“Tadi gue sempet liat pisau yang ada di tubuh pak dosen. Gue juga sempet analisa kronologi kematiannya dan bisa gue simpulin kalo dia mati bukan karena pisau seperti dugaan awal, gue curiga dia mati duluan sebelum tuh pisau nancep. Terus juga di pegangan pisaunya tuh ada ukiran angka gitu, tapi gue belum tau apa ada maksud tersembunyi dari ukiran angka itu,” jelas Aurora.

“Emang angkanya apa, Ra?”

“Oh! Angkanya, ini gue catet,” Aurora menunjukkan catatan handphone-nya yang menunjukkan sebaris angka tak beraturan.

131115441143

Nadin dan Sarah yang melihat deret angka itu juga ikut pusing, apa pula angka-angka ini kok ya tidak ada kejelasan padanya.

“Coba lo uraikan deh, Ra. Siapa tau itu deret angka isinya nama pelaku,” Sarah memberi saran.

“Iya tapi diuraikannya pake apa? Kan banyak tuh sandi angka.”

“Coba pake yang gampang dulu,” Nadin mengeluarkan kertas dan pulpen dari dalam tasnya. “Misal 13 itu M, 11 itu K, 15 itu O, 4 itu D, 3 itu C.”

“Tapi itu nggak masuk akal, Din. Petunjuk apa yang isinya random begitu. Kayaknya bukan itu uraiannya. Coba balik misal 1 itu Z gitu, hasilnya apa?”

Nadin Kembali mencoret di kertasnya seperti saran Sarah dan hasilnya juga sama anehnya. “mungkin ini tiap angkanya berdiri sendiri? Kayak dari tadi kita pake dua angka 13, 11, 15 dan seterusnya, coba satu-satu.”

“Makin nggak masuk akal nggak sih? Ntar banyak huruf A nya dong?”

“Coba aja dulu.”

Sudah satu jam mereka mencoba menguraikan susunan angka yang Aurora temukan di pisau yang menancap di dada dosen yang meninggal di ruang kelas mereka tadi pagi, tapi tak ada satupun rumus yang berhasil membentuk kata dengan benar.

“Aduh pusing banget gue,” keluh Sarah.

“Kayaknya emang nggak sesederhana yang kita kira deh,” timpal Nadin. “Coba sini Din kertasnya,” Nadin kemudian menggeser kertas berisi coretan hasil Analisa mereka pada Aurora. Gadis itu kemudian menulis angka satu sampai lima ke samping, kemudian menulis angka satu sampai lima lagi ke bawah. “Gue tadi liat iklan game sudoku, mungkin bisa dipake.”

Setelah itu Aurora lanjut menulis huruf A sampai Z di tiap baris dan deret meninggalkan huruf J. Selanjutnya ia mulai menulis huruf hasil dari gabungan deret dan baris yang ia buat dan hasilnya Aurora membentuk kata “CAESAR”.

“Pembunuhnya namanya Caesar?” tanya Sarah.

“Kayaknya bukan, gue curiga kata Caesar ini merujuk ke lukisan The Death of Caesar.”

“Bentar, lukisan punya siapa nih. Jeon-Leon apa Vicenzo?”

“Yang tentang kejadian Ides of March punya siapa?”

“Oh, punya Vicenzo berarti.”

“Emang ada apa sama lukisan itu?”

Ides of March atau bisa disebut dengan Idus Martiae adalah sebuah peristiwa penting dalam sejarah Romawi kuno yang terjadi pada tanggal 15 maret tahun 44 sebelum masehi di kota Romawi. Peristiwa ini terkait dengan pembunuhan Caesar Julius yang merupakan seorang jenderal sukses dan berhasil mencapai banyak kemenangan dalam pertempuran militer. Ia juga banyak memperluas wilayah Romawi…

…Pada tahun 49 SM, Caesar Kembali ke Roma sebagai penguasa de facto atau penguasa mutlak. Namun, meskipun Caesar banyak berjasa untuk Romawi kuno, ia masih memiliki banyak musuh termasuk dikalangan elit politik. Beberapa senator dan aristocrat merasa terancam oleh kekuasaan dan popularitas Caesar yang terus meningkat. Sehingga pada tahun 44 SM, Julius Caesar ditipu oleh para senator dengan mengatakan bahwa ia diundang untuk menghadiri rapat senator di teater Pompey…

…Caesar mendapat dua puluh tiga tusukan dan pukulan dari para senator termasuk Gaius Cassius Longinus dan Marcus Brutus yang konon merupakan anak angkatnya. Dan peristiwa Ides of March ini dituangkan dalam lukisan oleh salah seorang pelukis asal Amerika Bernama Vincenzo Camuccini dengan judul The Death Of Caesar,” jelas Aurora mengenai sejarah lukisan tragis dan hubungannya dengan hasil angka yang mereka temukan.

“Jadi kemungkinan si pelaku orang yang berkhianat gitu?”

“Kayaknya gitu tapi siapa?”

“Kalo gitu kita harus cari tahu riwayat hidup si korban.”

ØØØ

Seminggu sudah pembunuhan itu terjadi, polisi masih belum menemukan siapa pelakunya. CCTV seluruh gedung juga mati saat kejadian jadi tidak ada bukti apapun, juga tidak ada saksi yang melihat kejadian waktu itu.

Aurora saat ini tengah berada di taman fakultasnya sembari memikirkan hasil temuannya yang baru. Ia masih tidak mengatakannya pada Nadin maupun Sarah, karena si pembunuh benar-benar orang yang tidak disangka-sangka. Memang benar kata orang, tempat bersembunyi paling baik adalah di muka publik.

“Lo Aurora kan?” Dari arah belakang, sebuah suara terdengar. Aurora yang merasa orang itu berbicara dengannya pun menoleh dan menemukan ketua BEM kampusnya berdiri dengan gagahnya. Sekilas Aurora merasa di belakang laki-laki itu ada cahaya terang yang membuatnya semakin berkarisma.

“Iya, kak. Kenapa ya?”

“Gue denger lo lagi nyelidikin kasus pembunuhan itu ya?”

“Kakak dengar dari siapa ya?”

“Sarah temen lo itu, adik sepupu gue.”

“Oh gitu, jangan bilang siapa-siapa tapi ya kak, biar polisi aja yang ngungkapin pelakunya. Lagian gue juga belum selesai nyelidikinnya.”

“Baru dugaan siapa pelakunya sih. Gue belum bisa buktiin kalo dia emang beneran pelakunya,” lanjutnya.

“Kok lo bisa tau dia pelakunya?”

“Jangan bilang siapa-siapa loh ya! Pertama gue liat ada ukiran di pisau yang nancep di dada korban, setelah gue terjemahin itu artinya Caesar dan gue kaitkan dengan lukisan The Death of Caesar punya Vincenzo Camuccini yang menunjukkan tentang peristiwa penghianatan. Terus gue cari tau tentang dosen yang jadi korban itu, ternyata gue nemuin kalo salah satu penelitian beliau ada yang nggak dikerjain sendiri alias hasil kerja sama. Terus gue cari tau tentang penelitian itu, dan ternyata dosen yang jadi korban ini nge-claim kalo penelitian itu hasil kerja pribadi. Jadi gue simpulin, rekannya di penelitian inilah pelakunya,” Aurora menjelaskan semua hasil temuannya pada orang di depannya.

“Terus siapa rekannya itu?” Laki-laki ini sepertinya ingin sekali menangkap pelakunya. Tiba-tiba, Aurora jadi takut kalo dia dikhianati kayak si pelaku. Suudzon aja sih Aurora, tapi siapa tahu kan kalo laki-laki di depannya ini tiba-tiba bilang kalo dia yang nyari tahu dan bukan Aurora, dia yang dapat semua fakta itu dari penyelidikan dan bukan nanya.

Sorry nih kak, bukannya gue nggak mau ngasih tau. Kan gue udah bilang, gue belum buktikan kebenarannya. Jadi gue nggak bisa bilang.” Aurora kemudian beranjak dari sana agar tidak ditanyai lebih banyak lagi. Bukannya ia ingin menyimpan fakta itu sendiri dan muncul sebagai pahlawan. Hanya saja dia harus hati-hati, kita tidak pernah tahu maksud sebenarnya orang lain kan?

Sore harinya, selepas semua kelas yang harus ia jalani, Aurora menemui seseorang yang menjadi tersangka dalam penyelidikannya. Sampai di depan gedung dengan kasta tertinggi di seluruh wilayah kampus, Aurora segera menemui resepsionis dan bertanya apa yang dicari ada di ruangannya.

“Permisi mbak, pak wakil rektor 3 ada di ruangannya nggak ya? Saya mau bahas tentang beasiswa saya.”

“Oh iya ada, silakan langsung ke ruangan beliau aja ya.” Bagus sekali dengan beralasan tentang beasiswa, Aurora sudah bisa masuk dan menemui yang dicari.

Tok! Tok! Tok!

“Permisi bapak, saya Aurora Odelia Odysseus mohon izin konsultasi atas beasiswa yang saya terima.”

“Oh iya, silakan masuk. Jadi mau konsultasi apa?”

“Pak gimana rasanya, dikhianati temen sendiri?” Aurora bertanya tanpa basa-basi.

“Maksud kamu, Nak?” Lelaki paruh baya itu tampak tak mengerti.

“Dosen yang menjadi korban pembunuhan waktu itu, teman bapak kan? Kalian mengerjakan penelitian bersama. Namun, pada akhirnya beliau mengakui bahwa itu hasil kerjanya sendiri sehingga bapak marah dan membunuhnya, iya kan?” Sumpah demi apapun di muka bumi, Aurora beneran gugup banget pas bicara seperti itu. Takut dikira sok tau terus dituduh fitnah dan berakhir dikeluarkan dari kampus.

“Jadi kamu tau? Saya benar-benar benci dia. Dia mengkhianati saya padahal saya begitu mempercayainya. Dia ambil semua uang yang saya simpan untuk biaya Pendidikan anak dan cucu saya, saya benar-benar marah dan kecewa…

…Sampai akhirnya minggu lalu dua hari sebelum saya membunuhnya, artikel yang kami kerjakan masuk dalam jurnal internasional tapi dia hanya mengakui itu miliknya, saya tidak bisa menahan diri lagi dan membunuhnya…

…Saya mencampurkan raksa dan nitrat ke dalam botol minum yang biasa ia bawa, dan meninggal tepat setelah kelas terakhir yang ia ajar. Kemudian untuk memastikan ia meninggal, saya menusukkan pisau yang sengaja saya ukir sebagai petunjuk bagi para penyelidik. Tetapi, rupanya bukan penyelidik yang sadar melainkan kamu, saya sangat kagum. Tenang saja saya akan menanggung semua resiko atas perbuatan saya.”

Benar saja satu jam setelah perbincangan Aurora dengan bapak wakil rektor, polisi datang menangkap laki-laki paruh baya itu atas tuduhan pembunuhan. Aurora juga diminta ikut untuk memberi kesaksian kepada polisi.

Selama di bawah laki-laki itu tampak sangat santai, benar-benar siap menanggung akibat dari perbuatannya. Dari sini Aurora belajar, kepercayaan adalah hal penting, mengkhianati seorang yang mempercayaimu sama seperti membawa kematian pada hidupmu.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *