Ketika Literasi Masih Sekadar Seremoni: Menyoal Akar Persoalan Bangsa

Selama berabad-abad, literasi menjadi kunci utama kemajuan sebuah bangsa. Membaca, menulis, dan memahami bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan fondasi yang membentuk pola pikir kritis, kreativitas, dan kemandirian masyarakat. Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNESCO menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari Literasi Internasional, dunia diingatkan bahwa literasi adalah hak dasar setiap manusia.

 

Namun, hingga kini, meski perayaan demi perayaan literasi terus berlangsung di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, pertanyaan mendasar muncul: apakah literasi sudah benar-benar hidup di tengah masyarakat kita? Atau hanya berhenti pada slogan, seremoni, dan dokumentasi kegiatan? Data masih menunjukkan adanya ketimpangan besar antara cita-cita dan realita. Tingkat minat baca yang rendah, kesenjangan akses buku di daerah terpencil, serta dominasi konten dangkal di ruang digital, menjadi potret buram yang tidak bisa kita abaikan.

 

Literasi sejatinya bukan hanya membaca teks, melainkan juga membaca kehidupan. Literasi adalah kemampuan memahami realitas sosial, ekonomi, hingga politik, lalu mengolahnya menjadi pengetahuan yang membebaskan. Namun sayangnya, di tengah derasnya arus digitalisasi, masyarakat justru lebih banyak terjebak dalam budaya instan, cepat, singkat, dan sering kali tanpa pemahaman mendalam. Hal ini menjadikan bangsa kita rawan terhadap hoaks, polarisasi, bahkan manipulasi wacana.

 

Hari Literasi Internasional seharusnya menjadi momentum refleksi. Bahwa literasi bukan hanya milik ruang kelas atau peringatan seremonial belaka, melainkan napas dalam kehidupan sehari-hari. Literasi adalah syarat utama bagi kemandirian bangsa, sebagaimana pendidikan yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara: memerdekakan manusia lahir dan batin.

 

Kritik terhadap kondisi literasi di Indonesia bukanlah bentuk pesimisme, melainkan tanda kepedulian. Kita harus mengingat bahwa literasi adalah jalan panjang menuju kesejahteraan dan keadilan. Tanpa masyarakat yang literat, mustahil lahir generasi yang mampu bersaing di dunia global. Maka, marilah kita bersama-sama menghidupkan literasi, tidak hanya dalam bentuk acara tahunan, tetapi sebagai budaya yang mengakar dalam keluarga, sekolah, hingga ruang publik.

 

Karena pada akhirnya, literasi sejati adalah kebebasan untuk berpikir, merdeka untuk memilih, dan bijak untuk bertindak.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *