Dewasa ini masyarakat sedang dihadapkan pada kondisi permasalahan global yang paling krusial. Tersedianya berbagai macam sarana dan prasana penunjang kebutuhan hidup dianggap membawa sejumlah perubahan pola konsumsi masyarakat, mengurangi daya dukung lingkungan, serta membawa pada berbagai masalah lingkungan hidup. Sampah yang semakin hari semakin menumpuk, mencemari sungai, hingga akhirnya berdampak pada masalah kesehatan. Kondisi tersebut memaksa segenap komponen negara untuk bergerak bersama mencari solusi demi mengatasi permasalahan ini.
Sebuah fakta menunjukkan bahwa timbunan sampah di Indonesia secara nasional mencapai 200 ribu ton per hari atau setara 73 juta ton selama satu tahun. Sektor yang dominan menyumbang samah adalah sampah rumah tangga sebesar 48 persen, kawasan komersial sebesar 9 persen dan sisanya dari fasilitas publik seperti sekolah, pasar, jalan, dan sebagainya. Kondisi ini tidak terhindarkan mengingat ketersediaan fasilitas penyedia kebutuhan hidup masyarakat yang semakin kompleks dan terus bertambah, menawarkan akses kemudahan ke seluruh aspek menjadikan permasalahan ini bukan hal yang mudah untuk diselesaikan.
Pada lingkup wilayah yang lebih kecil terutama perkotaan, produksi sampah bertambah lebih banyak dan lebih bervariatif yang akan mempengaruhi terhadap keberlanjutan lingkungan (sustainable) suatu kota. Salah satu kota yang mengalami permasalahan sampah adalah kota Mojokerto. Sampah yang kian meningkat seiring bertambahnya jumlah dan pola konsumsi penduduk pada kota ini menuntun pada permasalahan kerusakan lingkungan hidup. Menurut data BPS Mojokerto tahun 2019, jumlah penduduk kota Mojokerto sebanyak 127. 279 jiwa dengan jumlah timbulan sampah diperkirakan mencapai sekitar 23. 389 ton setiap tahun. Nilai ini mewakilkan kondisi timbunan sampah yang seringkali melebihi kapasitas penampungan (over capacity) pada tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) Randegan Kota Mojokerto dan membuktikan belum berjalannya tata pengelolaan yang sesuai.
Pembangunan yang berpinsip pada paradigma pembangunan lama dan hanya semata-mata mengejar efisiensi ekonomi, akan menyusutkan sumberdaya alam dan rusaknya lingkungan. Kondisi ini menimbulkan situasi yang saling menyalahkan antara pemerintah yang tidak bertanggung jawab dan rendahnya kesadaran akan keberlanjutan lingkungan hidup oleh masyarakat. Kegagalan menangani masalah pembangunan yang tidak ramah lingkungan hidup menurunkan daya dukung lingkungan dan menciptakan suatu proses timbal balik yang tidak harmonis antara manusia dan lingkungannya. Hal ini ditandai dengan masalah persampahan kota yang membawa bencana banjir akibat penyumbatan drainase dalam kota, maupun terhambatnya arus air sungai.
Keadaan banjir dalam waktu lama akan menjadikan persediaan pangan di daerah yang kebanjiran menipis dan kekurangan pangan. Air kotor yang tergenang dalam jumlah banyak akan meningkatkan resiko penularan berbagai macam penyakit secara massal yang kemudian akan meningkatkan biaya pengeluaran pemerintah untuk pengobatan. Kenyataan seperti ini bagaikan ganjaran yang mengkehendaki adanya suatu perubahan paradigma yang dapat menyadarkan masyarakat dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi.
Menyebarnya isu pencemaran lingkungan hidup yang menyebabkan rangkaian bencana lain mendorong masyarakat dunia untuk mulai merubah pandangan tentang gaya hidup yang dapat merusak lingkungan (antroposentris), menjadi pandangan dengan aksi nyata yang bertindak lebih jauh dengan menempatkan seluruh komunitas ekologis sebagai subjek yang memiliki nilai. Pandangan ini terdapat dalam suatu paradigma lingkungan baru yaitu ekosentrisme atau pandangan yang melihat bahwa seluruh subjek yang ada di alam semesta (biotis maupun abiotis) memiliki nilai karena keduanya akan terikat satu sama lain dalam sebuah ekosistem, baik ekosistem alami seperti hutan maupun ekosistem buatan manusia seperti desa dan kota.
Sebuah ekosistem buatan manusia dalam pembentukannya pun tidak akan terlepas dari unsur-unsur alami. Potensi sumber daya alam yang ditawarkan bagi keberlangsungan hidup, membuat manusia dalam prosesnya tetap membutuhkan alam yang membuat manusia tidak bisa acuh tak acuh terhadap kondisi alam yang ditinggalinya. Kehidupan yang saling bergantung ini akan menghasilkan interaksi antara manusia dengan lingkungan sebagai satu kesatuan. Relasi yang terbentuk antara manusia dan lingkungan merupakan cerminan dari pandangan yang dimiliki manusia itu sendiri terhadap lingkungan yang ditinggalinya. Pandangan manusia yang menganggap dirinya adalah bagian dari alam dan tumbuhan, akan mengutamakan tujuan jangka panjang dan berkelanjutan dalam aktivitasnya sebagai mahluk hidup yang menempati suatu lingkungan. Sehingga pandangan ini menjadi dasar perumusan berbagai upaya untuk meminimalkan pencemaran guna keberlanjutan lingkungan.
Berbagai regulasi terhadap pengelolaan sampah berwawasan lingkungan kini mulai diberlakukan sebagai penanaman dan pembiasaan di berbagai kota terhadap warga negaranya. Sebagai contoh adanya peraturan daerah kota Mojokerto yang meminimalisir penggunaan kantong plastik dan menghimpun masyarakatnya untuk beralih menggunakan kantong yang terbuat dari kain (reusable bag). Kebijakan ini tentu tidak berjalan seacara instant menghentikan penggunaan kantong plastik, namun harus diawali dengan membatasi penggunaannya, agar tingkat cemarannya di lingkungan bisa berkurang. Sejalan dengan kebijakan tersebut, fungsi pengawasan dijalankan organisasi Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang yang diberikan wewenang oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana teknis kinerja keberhasilan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan tidak mengandung zat-zat kimia berbahaya.
Pensortiran sampah dilakukan pada TPA Randegan yang meliputi kegiatan pembatasan, penggunaan kembali, dan pendauran ulang melalui sistem pengolahan sampah terpadu. Hasil pengolahan gas metan dari sampah dan pembuatan pupuk dari sampah organik kemudian disalurkan untuk masyarakat secara gratis sebagai bahan energi pembakaran pengganti LPG. Hal ini dipandang sebagai terobosan baru mengingat paradigma lama pengelolaan sampah tidak memperhitungkan aspek pencemaran lingkungan hidup. Selain dalam bentuk regulasi, kampanye pencemaran lingkungan terus digencarkan oleh sekelompok individu yang memiliki pandangan ekosentrisme dan peduli lingkungan baik dalam lingkungan sekolah, universitas, perkantoran, rumah tangga, ataupun dari masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, berjalannya usaha pengelolaan sampah berwawasan lingkungan membutuhkan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya yang terkoordinasi dengan baik antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Paradigma ekosentrisme menjadi acuan terhadap relasi manusia dengan lingkungannya melalui cara pengelolaan sampah berkelanjutan, sebagai suatu upaya yang berimplikasi dan menciptakan proses keterkaitan (linked) yang baik antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, paradigma ini dijadikan sebagai gagasan dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pengelolaan sampah yang selalu memandang alam sebagai suatu ekologi yang berkelanjutan dan mempertimbangkan berbagai kebijakan untuk tetap berwawasan lingkungan sebagai upaya menjaga keseimbangan lingkungan.
Daftar Pustaka
BPS Kota Mojokerto. (2019). Volume Timbulan Sampah Kota Mojokerto. Dipetik Juli 2024, dari Mojokertokota.Bps.Go.Id: https://mojokertokota.bps.go.id/
Dewan perwakila Rakyat Republik Indonesia. (2022 , September 2). Ditjen PSLB3 KLHK Didesak Miliki Langkah Terukur Tangani Volume Sampah. Jakara, Jawa Barat, Indonesia.
Sutoyo. (2019). Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup. Malang.
Triwidiastuti, S. E. (2020). Model Degradasi Kualitas Lingkungan Hidup. Peran MST dalam Mendukung Urban Lifestyle yang Berkualitas, 11-28.