Untuk Anggia

Riuh, satu kata yang bisa menggambarkan suasana SMA Pandhawa saat ini. Sebagian besar murid SMA Pandhawa berhamburan meninggalkan kelas setelah bel pulang sekolah berbunyi, berlomba-lomba untuk keluar dari kelas terlebih dahulu. Namun, beberapa masih ada yang tinggal karena ada ekstrakurikuler yang mereka ikuti ataupun karena malas jika harus pulang bersamaan dengan murid-murid lain, ramai sekali.

Seperti di kelas  XII IPA 2 saat ini, masih ada dua siswi yang belum beranjak dari kursinya. Gadis manis dengan rambut hitam sebahunya itu terlihat mengamati  suasana di luar kelas mereka, menunggu hingga keadaannya cukup lengang, sementara gadis lainnya terlihat tertidur dengan melipat kedua tangannya di atas meja dan menundukkan wajahnya di sana sejak jam pelajaran terakhir berlangsung.

“Anggis, udah sepi,” ucap gadis dengan rambut hitam sebahu itu kepada temannya.

Gadis yang terlihat tertidur tadi segera bangun, ia menghela napas pelan sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah pintu kelas seraya bertanya, “kamu langsung pulang, Sas?”

Gadis yang dipanggil Sas itu pun mengangguk dan beranjak. Anggis pun segera beranjak mengikuti Saskia, mereka berdua berjalan bersama keluar kelas tetapi akhirnya melangkah ke arah yang berbeda. Anggis melangkah dengan pelan melewati koridor kelas 11 yang sudah sepi menuju tempat yang selalu ia datangi setiap pulang sekolah selama sekitar satu bulan terakhir, lapangan indoor.

Selama satu bulan terakhir, Anggis dan beberapa siswa lainnya yang terpilih untuk mewakili sekolah dalam mengikuti pertandingan bulutangkis tingkat SMA se-provinsi. Pertandingannya akan dilaksanakan sekitar dua minggu lagi, sehingga setiap pulang sekolah mereka menghabiskan waktu untuk latihan. Anggis mengganti baju terlebih dahulu sebelum bergabung dengan teman-temannya di lapangan.

***

Lalu lalang kendaraan memenuhi indera penglihatan Anggis yang kini tengah duduk di kursi halte, menunggu bus datang. Sementara di ufuk barat sana, matahari sudah tenggelam, menyisakan guratan warna jingga yang menandakan sebentar lagi gelap akan menyapa. Latihannya tadi berlangsung lebih lama, sehingga ia pulang lebih sore dari biasanya. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya bus datang juga. Anggis segera beranjak bersama orang-orang yang juga menunggu bus sama seperti dirinya. Anggis mengambil duduk di dekat jendela, ia selalu suka melihat keramaian kota melalui kaca jendela bus.

Setelah beberapa waktu, bus akhirnya berhenti di halte pemberhentian tempat Anggis turun. Anggis masih harus berjalan sekitar 100 meter dari halte pemberhentiannya untuk sampai ke rumah. Anggis membuka pintu gerbang rumahnya, ia melihat mobil milik sang Ayah sudah terparkir di rumah. Anggis langsung masuk ke dalam rumah. Kedatangan Anggis disambut dengan suasana rumah yang terlihat bahagia tanpa harus melibatkan kehadirannya. Ayah, Ibu, dan Adiknya tengah menikmati kebersamaan di ruang keluarga, tertawa dan bercengkrama bersama, sepertinya menyenangkan. Anggis menghela napas sejenak sebelum akhirnya ia melangkah menuju kamarnya tanpa ingin menyapa mereka.

“Anggis, kok baru pulang?” tanya Ibunya setelah menyadari keberadaannya.

Anggis pun menghentikan langkahnya lalu menoleh. “Iya, latihannya baru selesai,” jawab Anggis kemudian berlalu.

Hanya Ibunya yang bertanya, sementara sang Ayah tersenyum dan adiknya memilih diam. Anggia, adik kembar Anggis yang sekarang harus selalu menghabiskan waktunya di rumah. Tiga bulan yang lalu, Anggis dan Anggia mengikuti seleksi atlet bulutangkis sekolah, yang terpilih akan menjadi atlet bulutangkis sekolah dan juga menjadi perwakilan sekolah dalam pertandingan bulutangkis tingkat SMA se-provinsi. Menjadi atlet bulutangkis merupakan mimpi dari Anggia dan Anggis. Mereka mengikuti seleksi tersebut bersamaan. Namun, pada akhirnya hanya ia yang terpilih, sementara Anggia tidak. Saat itu, kondisi kesehatan Anggia memang kurang baik, sehingga akhirnya ia tidak terpilih. Anggia kecewa, kekecewaan yang Anggia alami perlahan membuatnya terpuruk dan kondisi kesehatannya berangsur memburuk, sampai akhirnya ia divonis terkena penyakit gagal jantung. Sejak saat itu, Anggia meninggalkan mimpinya karena harus menjalani perawatan, Anggia juga tidak lagi masuk ke sekolahnya dan berganti dengan homeschooling. Semenjak itu juga, Anggia mulai mengabaikan Anggis, Anggia bersikap seolah apa yang terjadi adalah kesalahan Anggis. Anggia juga pernah meminta Anggis untuk mengundurkan diri dari atlet bulutangkis sekolah, Ayah dan Ibunya juga turut memintanya untuk mengundurkan diri dengan alasan kasihan dengan Anggia, namun Anggis menolak.

***

Pertandingan bulutangkis tingkat SMA se-provinsi itu pun tiba. Beberapa pertandingan di babak penyisihan dan semifinal sudah berlangsung, menyisakan pertandingan babak final. Anggis menjadi salah satu yang masuk di babak final. Ia senang, namun di saat yang bersamaan juga ia sedih karena orangtuanya dan Anggia juga tidak akan melihatnya di pertandingan itu. Ia ingat perdebatannya dengan Anggia kemarin.

“Aku cuma ingin kalian melihat pertandinganku, ini sudah yang terakhir dan sekalipun kalian tidak pernah melihatnya. Lagipula besok bukan jadwal Anggia untuk perawatan di rumah sakit. “

“Nggak akan pernah aku melihat pertandingan kamu. Ayah dan Ibu juga nggak boleh pergi. Kamu senang kan, bisa ikut apapun yang kamu mau, bahkan kamu juga mengambil mimpiku, sementara aku harus seperti ini.”

Anggis perlahan mengalihkan pandangannya ke kedua orang tuanya. Namun, nihil, orang tuanya pasti akan lebih memilih tidak pergi dengan alasan kesehatan Anggia. 

Itu juga mimpiku. Batin Anggis

Anggis menghela napas pelan kemudian tersenyum getir, mencoba memberikan semangat untuk dirinya sendiri. Pertandingan babak final berlangsung dengan sengit, dan Anggis berhasil memenangkan pertandingannya.

Anggis bergegas pulang setelah semua pertandingan di babak final dan upacara penutupan telah selesai dilangsungkan, ia ingin sekali memberikan kabar baik untuk keluarganya meskipun belum tentu ia akan mendapatkan respon yang baik. Namun sesampainya ia di rumah, ia malah mendapat kabar buruk jika kondisi Anggia semakin buruk.

“Kondisinya semakin memburuk. Jika Anggia tidak mendapatkan donor jantung dengan segera, maka kemungkinan terburuk bisa terjadi,” ucap dokter yang baru saja keluar dari ruang rawat Anggia. Anggis mendengarnya ketika ia baru saja sampai di rumah sakit.

***

Satu bulan sudah berlalu setelah pertandingan bulutangkis tingkat SMA se-provinsi itu selesai. Anggia berhasil melewati operasi transplantasi jantung dengan baik setelah mendapatkan donor dan kini kondisinya berangsur membaik, bahkan ia sudah diperbolehkan pulang.

“Anggis dimana Bu?” tanya Anggia sesampainya mereka di rumah.

“Anggis pergi, ini ada titipan dari dia buat kamu,” jawab sang Ibu sembari menyerahkan sebuah kado dan surat dengan amplop berwarna biru.

Anggia membuka kadonya terlebih dahulu, sebuah medali yang sepertinya adalah medali kemenangan Anggis di pertandingan kemarin. Anggia berganti membuka suratnya, ia langsung tahu jika itu dari Anggis karena ia hafal tulisan tangan Anggis.

Untuk Anggia. 

Hai, gimana Ang operasinya? Lancar kan? 

Saat baca ini, pasti kamu sudah pulang dari rumah sakit dan pastinya nggak ada aku disana. Di pertandingan kemarin, aku juara pertama Ang, maaf ya aku mengambil posisi yang seharusnya menjadi tempat kamu. Maaf Ang kalau selama ini kamu merasa aku merebut apa yang menjadi mimpi kamu. Kamu tenang aja, karena kamu sudah sembuh, setelah ini kamu harus jadi atlet yang lebih hebat dari aku. Di kado ini, medali pertamaku, untuk kamu. Maaf nggak bisa memberikannya secara langsung. Semoga setelah ini kamu nggak marah lagi, ya. Meskipun aku nggak ada, jantungku selalu bersama kamu, kemanapun kamu pergi dan apapun yang kamu lakukan, aku selalu bersama kamu. 

Salam sayang, Anggis. 

Ya, Anggis pergi. Pergi ke tempat yang jauh dan tidak kembali lagi. Hari itu, ketika ia mendengar jika Anggia harus segera mendapatkan donor jantung, Anggis memutuskan untuk memberikan jantungnya kepada Anggia. Ia ingin melihat Anggia kembali sehat dan ia juga ingin orang tuanya kembali tersenyum saat melihat Anggia baik-baik saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *