Bergelut dengan Penguasaan Diri dalam Tilikan Negeri

Benar katanya, “Dan setiap pemuda bangsa adalah tunas harapan negara.” Kalimat sederhana itu benar memikat jiwa yang pendam menjadi jiwa yang mentaram.

Terlihat seorang perempuan yang seperti menunggu seseorang di atas batu di puncak gunung itu hingga senja berlalu melewati dirinya yang termenung. Hamparan yang begitu luas dengan anak awan yang berlalu silih berganti mengingatkannya akan seberkas memori tentangnya sampai ia termangu saat ini.

Tak hanya pilu dan kesah yang selalu memompa jiwa raga namun perempuan itu merasa dirinya tak percaya ia telah berada di sini. Telah melewati hal yang menurutnya paling suram. Hingga sampai sekarang ia tetap bernafas lega meskipun dengan sesak yang baru padam. Tak hanya itu, selipan bahagia pun turut andil mendekapnya.

Perempuan itu berbicara, “Apa yang telah kulewati apakah bisa membuatku menjadi pemudi yang berkarakter dan mengerti keadaan dengan segala bentuk kepekaan itu?”

Ia bertanya-tanya akan kebenaran itu dan aku pun menghampirinya. Kutatap mata itu, mata yang kutahu banyak terpendam harapan besar di dalamnya dengan hijab maroon yang senada dengan baju yang ia pakai. Kedua tangannya memegang lututnya dengan tatapan mata ke arah hamparan luas di depannya. Keheningan malam itu seakan memeluknya layaknya selimut yang selalu ia pakai sembunyi. Aku tau tentangnya bahkan segala hal tentangnya. Aku tau kegundahannya, aku tau apa yang telah ia lewati. Hingga aku pun menikmati indahnya malam itu meski hanya dengan temaram lampu yang kubawa. 

Telah beberapa menit berlalu akhirnya dia membuka suara, “Kamu tau kah? dulu aku pernah sesemangat itu ikut organisasi?” ujarnya. Aku pun termangu dan kilas balik memori itu pun ikut menguasaiku. Memang dulu kami pernah berderap bersama dalam sebuah organisasi yang memupuk mental dan karakter kami. “Sebenarnya sudah cukup kah diri ini?” tanya wanita berhijab maroon itu dan ku jawab pertanyaan itu sambil berdeham, “Belum.” Tinggallah malam itu dengan suara hewan yang terdengar beriringan.

“Yuk kumpul di sini. Siap grak! Api unggun sudah menyala, api, api, api, api, api, api unggun sudah menyala, Dasa Dharma, bertanggungjawab dan dapat dipercaya.” Seperti film layar lebar yang terus berputar di kepalaku dan seakan hal itu sedang terjadi di depanku. Seulas senyum tipis dengan mata yang sedikit menutup dan tanpa permisi bulir-bulir itu melewati senyuman itu. Bukan karena sedih berpilu namun haru biru yang telah lama tak ia rasakan dan hati yang ingin menyeruak untuk mengeluarkan rasa bangga.

Ku baca lagi pada kutipan lama milik salah satu akun pendobrak sakti. Katanya, “Berawal dari langkah sederhana untuk karakter bangsa yang sempurna.” Benar adanya karakter memang dibuat dari hantaman upaya, bukan dari genggaman ambisi. 

Tak kutemukan lagi setitik masa dengan haru yang sama itu. Bisa kukatakan cucuran keringat itu tak sebanding dengan perwira-perwira tangguh tanpa pernah memutus asa. Hingga saat inilah tunas-tunas bangsa berada pada garda terdepan demi menggapai karakter bangsa bermoral tinggi dan bergerak bersama untuk negeri.

Angin malam yang semakin memeluk erat, mengingatkan aku akan penyulutan api unggun malam itu. Cahaya api unggun yang menerangi temaram yang menghangatkan diri. Cahaya yang satu mampu terangi dan hangatkan jiwa dari peliknya hari itu, percikan-percikan semangat pun seolah berkobar mengarungi seluruh angin malam itu. Derap langkah pejuang yang tak pernah berhenti demi wujudkan kesaktian negeri.

Bagian dari proses indahnya pengorbanan adalah menata hati untuk selalu bahagia menerima dengan kecukupan hati tanpa mengharap lebih. “Kita bisa membuat dunia ini tunduk dan berkarakter, saat praja muda karana selalu membara dalam jiwa,” ucapku padanya yang sontak membuatnya menoleh ke arahku. Dengan lantang ia berkata mulai detik ini harapan yang pupus di tengah jalan tak akan mampu menggoyahkan jiwanya lagi. Layaknya simpul yang telah dibuat kokoh dan akan selalu kokoh. Percakapan malam itu berakhir dengan anggukan kepala dariku. 

Orang hebat dapat melahirkan beberapa karya yang bermutu. Namun, guru bermutu dapat melahirkan banyak orang hebat dan pengalaman jerih payah itulah guru itu.

 

Selamat Hari Jadi Pramuka ke-61

Satyaku ku dharmakan

Darmaku ku baktikan.

Salam Pramuka!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *