Cahaya di Balik Lensa

Hari itu adalah 3 Desember, Hari Disabilitas Internasional. Di sebuah sekolah dasar yang ramai, seorang anak yang bernama Rizky, ia berusia 8 tahun dengan penglihatan samar, bersemangat mendengarkan pengumuman dari kepala sekolah.  

“Kita akan merayakan Hari Disabilitas Internasional dengan pertunjukan bakat dari semua murid, terutama mereka yang luar biasa dalam caranya masing-masing!” kata Bu Alfina, kepala sekolah.  

Rizky tersenyum kecil. Walau matanya tak bisa melihat dunia dengan jelas seperti teman-temannya, ia punya hobi bermain piano. Selama ini, ia hanya bermain di rumah, tetapi sekarang ia mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan bakatnya.  

Di sela-sela latihan, teman-temannya, Izzan dan Denis, dengan antusias mendukung Rizky. “Kamu pasti bisa, Rizky!” kata Izzan sambil menuntun Rizky menuju panggung kecil untuk latihan.  

Namun, di dalam hati Rizky ada rasa cemas. “Bagaimana jika aku salah menekan tuts? Bagaimana kalau mereka tertawa?” pikirnya.  

Hari pertunjukan tiba. Aula sekolah penuh dengan orang tua dan siswa. Rizky menggenggam tangan ibunya, merasakan jantungnya berdetak kencang. Saat namanya dipanggil, ia menarik napas dalam-dalam dan berjalan ke panggung, sambil ditemani Izzan yang membantunya duduk di depan piano.  

Ruangan menjadi sunyi. Rizky mulai memainkan lagu favoritnya, “Pelangi di Matamu.” Suara piano mengalun lembut, mengisi ruangan dengan melodi indah. Di tengah lagu, Rizky mulai lupa dengan kecemasannya. Ia membiarkan jari-jarinya bergerak mengikuti hatinya.  

Ketika lagu berakhir, ruangan dipenuhi tepuk tangan meriah. Beberapa bahkan sambil berdiri, memberikan tepuk tangan panjang. Rizky tersenyum, merasa dihargai bukan karena kekurangannya, tetapi karena dirinya sendiri.  

Setelah pertunjukan selesai, Izzan dan Denis memeluk Rizky. “Kamu hebat sekali! Semua orang kagum sama kamu!” kata Denis.  

Di momen itu, Rizky menyadari bahwa Hari Disabilitas Internasional bukan hanya tentang kekurangan, tapi tentang merayakan kekuatan dan keunikan setiap individu. Ia merasa bangga dan berjanji pada dirinya sendiri untuk terus melangkah, seberat apa pun jalannya.  

Hari itu, Rizky bukan hanya bermain piano. Ia juga memainkan harmoni yang menghubungkan hati semua orang di sekitarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *