Communication Is Key

Giana, gadis berusia 17 tahun yang berpikir bahwa dunia tetap akan baik-baik saja bahkan ketika dia mati. Dia yakin tidak akan ada yang sedih atau menyesal ketika ia pergi. Dengan langkah kecil dan backpack  besar di punggungnya, Giana berjalan menuju sekolah melewati jembatan lintang. Dia memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri hari ini, dia sudah merencanakan ini sejak 1 bulan yang lalu. Hidupnya kacau, keadaan ekonominya semakin memburuk bahkan ibunya sendiri enggan melihat wajahnya karena dia anak haram. Benar, dia hanya memiliki ibu sedari awal, ayahnya menghilang entah kemana. Di sekolah ketika seharusnya masa mudanya dihabiskan dengan tawa sukaria, ia malah di bully habis-habisan lantaran status ekonominya dan dijuluki si anak haram. Hatinya sakit, memang siapa yang ingin dilahirkan menjadi anak haram? Sebagaimana orang tua yang tidak bisa memilih anak mana yang akan dilahirkan, anak pun juga tidak bisa memilih orang tua mana yang akan melahirkannya. Ia menatap jembatan lintang dengan senyum manis di wajahnya, berharap sungai ini akan menjadi rumah terakhir yang nyaman baginya. 

“Na ngapain kamu liatin jembatan? Ayo naik udah mau jam 7 ini, keburu ditutup gerbangnya”, saut  Arya dari belakang dengan motor beat-nya yang sudah tampak usang. 

Arya, dia teman Giana sedari kecil. Meskipun dunia menghakiminya, Arya selalu mendukungnya. Dia satu-satunya alasan Giana masih berada di dunia ini, tapi sekarang tidak lagi. Rasanya Giana hanya seperti beban baginya, dia tidak ingin membebani Arya lagi. 

“Iya iya, bawel banget”, balas Giana sambil berjalan cepat ke arah Arya yang sudah tidak sabaran

Arya tersenyum tipis, dia senang berteman dengan Giana meskipun dia juga harus mendapatkan bully di sekolahnya. Arya di cap sebagai pahlawan si haram karena terus membantu Giana ketika ia sedang di bully.

Mereka mengendarai motor beat warna merah itu dengan riang, bahkan sesekali mereka bernyanyi bersama. Sesampainya di sekolah, Giana dan Arya berjalan terpisah karena mereka beda kelas. Arya berada di kelas IPS 3-3 sedangkan Giana berada di kelas IPA 3-1. Sesudahnya bel pulang sekolah berbunyi, Giana mematikan ponselnya dan buru-buru keluar dari kelas. Ia harus menghindari Arya dan segera melakukan hal yang sudah dia rencanakan. Tekadnya sudah bulat, dia sudah memantapkan diri. Kali ini dia berjalan dengan langkah cepat ke arah jembatan yang jaraknya hanya sekitar 1km dari sekolahnya. Dia sudah menyiapkan semuanya karena tidak mau merepotkan orang lain bahkan setelah kematiannya. 

Setelah sampai di jembatan, ia melepas backpack dan sepatu lalu menatanya berdampingan. Dia tidak mau sepatu nya rusak dan basah karena itu hadiah dari Arya. Dia memanjat jembatan itu dengan cepat, dan sekarang ketika dia lompat maka semuanya akan berakhir baginya. Giana menelan saliva nya ketika melihat air yang ada di bawahnya, namun dia sudah yakin akan keputusannya. 

“Byuur”, gemercik suara air dari bawah. Giana sudah pergi. 

Arya saat ini kalut, lantaran temannya— Giana tidak mengangkat teleponnya berkali-kali. Mereka sudah berjanji akan merayakan ulang tahun Arya hari ini yang ke 17 tahun. Arya mendatangi rumah Giana namun hanya dengusan yang keluar dari mulut ibunya, sama sekali tidak peduli. Sekarang Arya sudah tidak tahu lagi harus ke mana, hari bahagianya sekarang menjadi kegelisahan yang luar biasa. Tidak biasanya Giana pergi sampai larut malam tanpa mengabari, ia takut Giana di bully lagi tanpa sepengetahuannya. Saku Arya bergetar, ia segera mengambil ponselnya, berpikir bahwa Giana sudah pulang dan ingin mengabari. Benar saja itu telepon dari Giana. 

“Ke mana aja sih na jam segini kok belum pulang?!”, Ucap Arya dengan kesal bahkan sebelum pemilik suara di sana berbunyi. 

“Selamat malam, saya dari pihak kepolisian wilayah candi. Apa benar ini dengan Arya? Saya mau menginfokan bahwa si pemilik ponsel, Giana Laraswati sudah meninggal. Harap-“, bahkan sebelum pihak kepolisian melanjutkan kalimatnya, Arya bergegas meraih kunci motornya menuju ke kantor polisi yang dimaksud. Ia bertanya terkait kebenaran dari kalimat yang baru di ucapkan pihak kepolisian tersebut dan memang benar nyatanya. Arya duduk di lantai, lemas ketika melihat backpack dan sepatu Giana yang berati benar bahwa fakta Giana sudah pergi. 

“Ini sepertinya kado buat kamu dari Giana”, Ucap bapak polisi yang ada di depannya. Arya mengusap air matanya dan mengambil kado yang terbungkus dengan koran itu lalu memeluknya. Ia menangis lagi, kali ini lebih keras. Dia tidak mengira temannya yang baru tadi pagi ia bonceng bahkan bernyanyi bersama saat ini sudah meninggalkannya. 

Selepas pemakaman yang khidmat, Arya bisa melihat meskipun ibu Giana seperti acuh tak acuh, saat ini ibunya terlihat menahan tangis. Hal itu terlihat dari hidung dan matanya yang memerah. Arya sekarang berada di kamarnya, meratapi kepergian Giana. Akankah keadaan berbeda jika 3 hari yang lalu ia mengiyakan ajakan Giana untuk pergi ke suatu tempat? Saat itu Arya benar-benar tidak bisa pergi karena ia di amanahi sebagai ketua pelaksana salah satu event OSIS yang mana ia harus terjun langsung dan mengatur berbagai hal, ia bahkan tidak sempat makan. Arya sudah berjanji akan meluangkan waktunya esok hari namun Giana mengatakan sudah lupa, Arya berpikir bahwa mungkin itu bukan hal yang penting. Nyatanya hal itu memberikan impact yang cukup besar bagi Giana dan memutuskan untuk mengambil keputusan berat itu. Arya membuka kadonya dan menemukan surat, sepasang sepatu futsal, dan gantungan kunci di sana. Arya segera membuka surat nya. 

Dear Arya 

Happy Sweet Seventeen Arya! 

Maaf ya kalo kado ini kamu terima setelah kepergianku. Maaf juga tidak menjadikanmu alasan untukku tetap bertahan hidup. Aku pasti tidak sanggup lagi Ar untuk bisa melewati satu hari pun dalam hidupku kalo tidak ada kamu di dalamnya. Aku sebahagia itu waktu main sama kamu, terima kasih ya sudah mau menjadi temanku. Aku belikan kamu sepatu futsal agar kamu bisa fokus dengan hal yang kamu suka. Kayanya tidak ada kata yang paling bisa mewakili isi hatiku selain kata terima kasih sebanyak-banyaknya. Ar, terima kasih atas semua waktu dan kenangan yang sudah kita ukir bersama ya, sekalipun ragaku sudah tidak bernyawa pasti kenangan itu pasti ada. Ar, aku minta tolong untuk berikan kado terakhirku kepada ibuku ya, tempatnya ada di loker sekolah. Dengan password 251003 ulang tahunmu Ar. Aku ingin setidaknya ketika aku sudah pergi ibu masih bisa mengenangku juga seperti kamu. Aku sudah pergi dengan nyaman, laut sudah memelukku seperti induk yang menimang anaknya. Aku sudah tidak butuh apa-apa lagi Ar, jangan tangisi aku ya.

Peace 

Giana 

Arya menangis tersedu-sedu lalu ia buru-buru mengusap air matanya. Giana ingin agar Arya tidak menangis, tapi itu permintaan yang terlalu sulit. Bagaimana ia bisa membendung air matanya ketika ia kehilangan sahabat terbaiknya? Arya memasang gantungan kunci berbentuk daun semanggi yang bermakna keberuntungan. Tanpa diberitahu, Arya sudah paham bahwa sekalipun Giana sudah pergi, ia akan tetap mendukungnya dan berharap keberuntungan terus menyertai Arya. 

Keesokan harinya setelah selesai sekolah, Arya segera menuju ke kelas Giana dan membuka lokernya. Setelah itu ia bergegas ke rumah Giana dan mendapati ibunya sedang menatap foto masa kecil Giana yang terpampang di ruang tamu. 

“Bu permisi, ini ternyata ada kado dari Giana. Mohon diterima ya Bu”,  Ucap Arya memberikan bungkusan dari koran yang penuh dengan selotip itu. Ibu nya mengangguk dan menutup mulutnya, tanda menahan isak tangis. Arya menunggu di sana sampai ibu Giana selesai membaca surat dan membuka kadonya, isinya tas berwarna merah maron. Baru kali ini Arya melihat ibu Giana menangis, ia bahkan terjatuh setelah membaca suratnya. 

Teruntuk Ibu

Ibu, apa aku terlalu berlebihan jika aku berharap ibu sedikit sedih ketika aku pergi? Pastinya aku senang kalo ibu sedikit sedih karena artinya ibu masih sayang dan perhatian sama aku. Sedikit saja ya Bu sedihnya, jangan banyak-banyak nanti aku juga ikutan sedih kalo ibu sedih. Ini ada kado terakhir aku untuk ibu, karena aku hanya punya 2 orang yang paling ku sayang, Ibu dan Arya. Aku tetap senang sekalipun aku bukan anak yang ibu mau. Maaf ya Bu kalo kadonya tidak mahal soalnya Giana sudah tidak punya uang lagi. Sewaktu mau berangkat kerja aku lihat tas ibu sudah sangat usang dan rusak, semoga ini bisa jadi penggantinya ya Bu. Terima kasih sudah melahirkanku dan membesarkanku sampai sekarang, maaf kalo kado terbesar yang bisa kuberi hanya tas. Maaf jika aku masih belum menjadi anak sempurna yang ibu inginkan. Satu yang aku tahu, aku sayang ibu. 

Dari Anakmu

Giana

Tangisan dan isakan dari Ibu Giana membuat Arya tak kuasa ikut menangis. Mereka berpelukan, menangisi orang yang paling mereka sayangi. Ada satu hal yang sampai sekarang Giana tidak tahu, Ibunya bukan tidak menyayanginya namun dia menggunakan cara yang berbeda untuk menyampaikan rasa sayangnya. Sang Ibu malu mengetahui fakta bahwa dia melahirkan Giana dengan cara yang salah, Ibunya terlalu malu untuk mengakui fakta ini dan menutupinya dengan topeng kemarahan. Ia bersikap acuh tak acuh karena ia takut jika ia akan di cap tidak berhasil membesarkan anak karena single parent, ia juga tidak mau terlihat lemah di hadapan Giana. Tanpa sang Ibu ketahui ternyata anak semata wayangnya di bully di sekolah bahkan di juluki anak haram. Hati Ibunya juga sakit mendengar fakta itu, seharusnya ia bisa lebih menyayangi dan mencintai Giana. Sedari awal Giana adalah anak yang ceria dan riang, bahkan ketika ia di bully, dia tidak pernah memperlihatkan kesedihannya di hadapan Arya atau pun Ibunya.

Ini bukan kesalahan siapa pun. Tujuan mereka mungkin benar, namun tidak dengan cara penyampaiannya. Kita tidak akan tahu apa yang dirasakan oleh orang lain jika kita tidak berada di posisinya. Komunikasi adalah penghubung yang paling penting agar kita bisa memahami dan tahu bagaimana cara otak orang lain bekerja. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *