Berpayung Pada Tuhan

Oleh: Nerma Rahmadani

Berlari dengan membawa setumpuk harapan orang tua. Bahu perempuan ini tak terlalu kuat untuk menopang semua harapan keluarga. Perempuan dengan wajah manis dan semangat yang membara di wajahnya. Sayang, ia tumbuh dengan jalan hidup yang tidak begitu sempurna. Aku, memang aku perempuan yang disebutkan itu. Aku hanyalah gadis biasa yang tumbuh dengan bayang seribu harapan. Terlahir dari keluarga sederhana, tetapi memiliki mimpi yang luar biasa. Tidak banyak fasilitas yang kudapatkan, tentunya fasilitas untuk memenuhi semua harapan itu. Kadang merasa terlalu banyak harapan yang dipikul, sedangkan ujian hidup yang datang kian memukul. Kerap sekali keadaan tidak mendukung semua mimpi dan harapan yang dititipkan. 

Pikiran seringkali terpecah, antara berjuang untuk bertahan hidup atau berjuang untuk mewujudkan mimpi dalam hidup. Rambut tebal yang dulunya panjang, kini menipis dan berguguran. Gugurnya rambut melambangkan pula gugurnya kesedihan ujian hidup. Aku, gadis dengan mata lebar, pipi chubby, dan senyum yang merekah. Aku, perempuan yang berusaha tetap hidup dalam gempuran kehidupan yang sulit katanya. Berusaha selalu menebarkan senyum kebaikan, walaupun hidup sedang banyak tekanan. 

Kini aku duduk di sekolah yang katanya favorit. Tidak lain, aku memasuki sekolah ini juga karena mewujudkan harapan orang tua yang dititipkan padaku. Nyatanya banyak sekali kekurangan, khususnya kekurangan financial yang kualami selama menempuh pendidikan di sekolah ini. Menghela nafas panjang, membiarkan semua kehidupan yang telah digariskan untukku. 

Tepatnya kini aku sedang duduk di bangku kelas XII sekolah menengah atas. Sekolah favorit tidak membuatku merasa bangga, yang ada malah tertekan mengikuti standar yang membuat sekolahku favorit. Tekanan dari sekolah dan harapan dari orang tua, sungguh perpaduan yang sangat menyenangkan bukan? Perpaduan harapan yang menguras tenaga dan pikiran tentunya. Renungan ini segera berganti, tiba-tiba terbesit bahwa hitungan bulan aku harus memasuki dunia perguruan tinggi. Rasanya harapan dan ujian baru sudah mengantri di depan mata. Aku tak bisa membayangkan, aku akan berkuliah dengan uang model apa. Bisa makan sekeluarga tiap harinya saja sudah alhamdulillah. Namun, ayah dan ibu mengapa selalu miliki mimpi yang besar terhadap anaknya? Kenapa anak pertamanya harus menjadi sarjana? Apa ayah dan ibu tidak sadar dengan keadaan ekonomi setiap harinya? 

Merenung dengan menyanggahkan wajahku di tangan kiri dan menatap air langit membasahi bumi. Rintik demi rintik hujan, kini mengalir membersamai lamunanku. Jendela kecil di kamarku ini, sekiranya cukup bagiku untuk melihat dunia luar agar tidak stres. Kamar kecil dengan ukuran 3×3 petak, tetapi nyaman sebagai tempatku pulang. Kamar sebagai tempat dimana aku berjuang, menangis, melamun, dan yang terpenting adalah tempat terindah untuk menaruhkan banyak mimpi yang terlalu berisik. Tidak begitu mewah, kamar sederhana dengan kasur busa, meja belajar, dan buku-buku sebagai teman merajut mimpi. Justru yang sederhana buatku nyaman untuk merenungkan semua mimpi yang ada di kehidupan. 

Sesekali menyeka air mataku yang menetes tanpa kusengaja, kadang diri ini terlalu menyedihkan untuk diceritakan kisahnya. Selalu memutar otak tentang bagaimana kehidupanku selanjutnya, bagaimana aku mewujudkan semua harapan orang tuaku, dan bagaimana aku membantu mewujudkan mimpi adikku. Aku memiliki adik perempuan, dia manis, namanya Niskala. Niskala juga punya mimpi yang besar, melebihi aku cerita mimpinya. Niskala juga sosok yang pintar, Niskala lebih cerdas daripada aku, walaupun sebenarnya kita sama-sama siswa yang berprestasi. Beberapa alasan aku untuk tetap bertahan hidup hanyalah karena ingin membantu mewujudkan mimpi Niskala. Cukup aku saja yang membatasi mimpiku tak sampai langit. Biarkan Niskala membawa mimpinya menembus langit. 

Tak sadar aku sudah merenung terlalu lama, hingga aku melewatkan waktu sholat ashar. Kamar yang sempit dan sederhana ini menjadi tempat paling nyaman untukku mengadu pada sang pencipta atas kegelisahan yang ada. Kamar yang juga sebagai tempat aku bersujud dan berbisik memanjatkan doa pada semesta. Dinding-dinding kamar yang menjadi saksi bisu dari semua perjalanan dan perjuangan hidupku. Akan sangat sedih apabila suatu saat aku harus pindah dari rumah ini. Rumah yang kutempati adalah rumah kontrakan, ayah dan ibu belum mampu untuk membeli rumahnya sendiri. 

Nduk… kok melamun terus to. Sholat nduk. Ibuk tidak bisa memberi apa-apa untuk hidupmu. Ibuk hanya bisa mengingatkan kamu untuk sholat, agar kamu bisa meminta apapun yang kamu inginkan.” 

Itulah ibuku, ibu yang terlihat garang dan menuntut anaknya, kadang juga perhatian kepadaku. Ibu selalu berpesan dan meminta maaf kepadaku, karena tidak bisa memberikan apa-apa pada hidupku. Ibu selalu mewanti-wanti aku agar tidak terlena meninggalkan sholat, ibu selalu berpesan apapun yang aku inginkan akan mudah diwujudkan apabila aku berdoa. 

Nduk, ibu dan ayah bukanlah lulusan sarjana. Ibu dan ayah hanyalah lulusan SMP nduk, mangkane uripe ayah ibu angel nduk. Ibuk ingin sampean penak uripe. Ibuk ora iso ngewangi opo-opo nduk. Ibu hanya bisa mendoakan dan membantu sampean mengarahkan mimpine sampean. Kuliah ya nduk, bagaimanapun caranya, usaha ya nduk. Hidup kita sudah disepelekan tetangga, ibuk ingin membuktikan bahwa anak-anak ibu itu pintar dan suatu saat pasti sukses bisa mengangkat derajat kedua orang tuanya.”

Seketika aku hanya mengangguk dan merenungkan semua ucapan ibu. Menatap langit-langit kamar dengan tubuh panjang telentang, sesekali meringkuk memeluk diri sendiri untuk tetap kuat mewujudkan semua impian ibu. Sebenarnya aku dari dulu memang memiliki keinginan untuk kuliah dan bermimpi harus menjadi sarjana bagaimanapun jalan yang harus kutempuh. Ibu selalu bercerita kepadaku, bahwa saat ibu kecil selalu bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Ibu selalu menangis menceritakan keinginannya, ibuku berharap bahwa aku anak pertamanya dapat mewujudkan cita-citanya sedari kecil itu. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, aku dari kecil juga ingin sekali menjadi seorang guru. Aku selalu bangga melihat guru-guru di sekolahku, entah selalu berpikir bahwa pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang mulia.

        Bertemu dengan penghujung malam, pikiranku semakin kacau. Memutar otak harus belajar dari mana agar bisa lulus PTN yang ibu cita-citakan. Berpikir harus bisa membeli buku dengan uang darimana, harus membayar uang registrasi dari mana, dan harus belajar dengan siapa agar tidak kalah dengan calon mahasiswa lain yang belajar dengan bimbel-bimbel yang mahal itu. Hembusan angin dari celah-celah ventilasi kamarku, membuat suasana semakin beku. Membeku harus berbuat apa agar dapat mewujudkan semua mimpi ini. Jam berdentang tepat pukul 00.00 dini hari, payah aku terlalu larut dalam rencana ini. Apalagi yang perlu ku resahkan, sudah ada Tuhan yang menyiapkan semua skenario terbaik untukku. Segera memejamkan mata, berharap semua kegelisahan itu lenyap ditelan malam. 

Hari kian berlalu, aku tetap bersekolah seperti pada umumnya. Aku memiliki 3 sahabat, Arunika, Betari, dan Bagaskara. Seperti yang kuceritakan di awal, sekolahku adalah sekolah favorit. Pastinya ketiga sahabatku adalah anak-anak orang kaya yang pendidikannya sangat difasilitasi oleh kedua orang tuanya. Arunika, cantik dan orang tuanya sangat mendukung cita-citanya, sungguh bahagia bukan menjadi Arunika. Arunika dibekali buku-buku yang memadai dan disediakan guru les pribadi untuk menunjang cita-citanya. Betari, juga cantik dan dibebaskan orang tuanya untuk memilih jalan hidupnya. Betari dibebaskan ingin membeli buku apa saja, pendidikan Betari adalah yang utama bagi orang tuanya. Bagaskara, anak pengusaha yang sudah jelas apapun pasti dituruti. Kadang aku minder dengan teman-temanku yang pintar dan ditunjang dengan fasilitas yang memadai. Apalah aku hanya memiliki otak di atas rata-rata dan tidak ada fasilitas penunjang pendidikan sama sekali. Ingin sekali rasanya punya buku yang bermacam-macam dan guru les pribadi. Bergumam dalam hati, itu semua akan terjadi hanya pada halusinasiku semata. 

Melihat teman-temanku sudah mempersiapkan buku-buku dan sibuk mencari bimbel yang terbaik untuk menunjang mimpi mereka, aku malah masih bingung dan bertanya-tanya emang aku mampu buat kuliah? Dari segi ekonomi dan kapasitas otak yang kupunya, tentunya sangat jauh berbeda dengan teman-temanku. Sepulang sekolah, aku langsung mengurung diri dalam kamar. Aku tidak menyapa ayah dan ibu, bahkan adikku. Menjatuhkan badan pada kasur busa yang tipis, menelentangkan badan kurusku berharap mimpi ini berjatuhan di lantai. Memejamkan mata, memikirkan semua keresahan yang ada di otak. 

“Tuhan, yakinkan bahwa aku kuat. Yakinkan bahwa aku mampu, permudah semua jalanku untuk mencapai semua mimpi ini. Buatlah aku mampu dan yakin bisa lolos di PTN yang ibuk inginkan dan permudah semua langkahku memasuki perguruan tinggi.” 

Menghela nafas sesekali, belajar ikhlas bahwa aku tidak sesempurna teman-temanku. Aku harus berjuang lebih keras agar dapat setara dengan mereka. Aku tidak boleh santai-santai, teman-temanku semua fasilitas sudah disediakan. Aku harus berusaha dan berjuang mencari jalan yang lain. Aku yakin semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Beranjak dari kasur, aku bercermin dan mengatakan pada diri sendiri bahwa aku mampu dan akan berhasil menyelesaikan semua mimpi ini. Senyum memukau terbit dari bibir manisku, menandakan kini aku harus bangkit untuk berjuang lebih keras. 

Berusaha mencari informasi dan materi tentang perguruan tinggi dari smartphone yang kupunya. Memang satu-satunya media yang membantuku secara gratis hanya smartphone ini. Mencoba mencari-cari latihan soal UTBK tahun-tahun sebelumnya. Memulai semuanya dari nol, mempelajari dan mengulang semua materi yang ada di SMA. Gigih dan tetap bekerja keras, walaupun kadang terasa capek dan selalu ingin menyerah. Tetapi aku yakin, dibalik kegigihan dan kerja keras pasti ada keberhasilan yang sedang menunggu. Aku tidak pernah benci dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Satu hal yang unik dariku, aku suka belajar. Entah bagiku belajar akan selalu terlibat pada semua fase kehidupan manusia. Sambil belajar, aku dengan memainkan pensil yang ada di tanganku selalu membayangkan betapa serunya bisa melanjutkan pendidikan sampai jenjang magister hingga profesor. Aku suka sekali dengan dunia baru, aku suka belajar hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah kupelajari. Seketika bayangan itu gugur, ekonomi pas-pasan saja bisa apa menginginkan pendidikan sampai profesor. Mengangkat pundak berharap keajaiban akan datang terjadi, aku melanjutkan mencari-cari soal di internet. 

Berbisik suara dari sekitar, bahwa aku sudah jelas kalah dengan teman-temanku yang dipenuhi fasilitas pendidikannya. Sedangkan aku, hanya berharap dari sebuah smartphone jadul ini. Menggeletakan badan di meja belajar sambil berpikir, masuk perguruan tinggi sangat sulit. Banyak sekali pengalaman orang di sekitarku yang gagal masuk perguruan tinggi, walaupun mereka sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Aku harus memikirkan cara lain. Entah tiba-tiba ide cemerlang muncul di kepalaku. Kenapa aku harus risau, aku kan punya Tuhan yang maha mengatur segalanya. Semua kesulitanku tidak akan ada apa-apanya bila Tuhan menghendaki. Segera menyusun rencana untuk merayu Tuhan, bertanya-tanya doa apa yang harus dipanjatkan agar manjur langsung dikabulkan. Dasar hamba yang egois, sholat dikebut beberapa bulan tapi minta langsung dikabulkan. 

Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasa. Untungnya Arunika, Betari, dan Bagaskara adalah sahabat yang baik. Mereka tidak sombong dan selalu mau membagikan apapun kepadaku. Mereka tau aku tidak punya cukup uang untuk membeli buku modul UTBK. Dengan kebaikan Arunika, Arunika meminjamkan bukunya dan menyuruhku menggandakan agar pengeluaranku lebih murah. Walaupun kami berempat sama-sama bersaing untuk mendapatkan perguruan tinggi, mereka bertiga selalu mendukungku agar mendapat fasilitas pendidikan yang sama. Betari pun yang memiliki koleksi buku pelajaran yang banyak, ia juga meminjamiku salah satu bukunya. Maha besar Tuhan pengendali semesta, banyak sekali yang membantuku untuk mempermudah proses menuju perguruan tinggi. 

Bergembira banyak teman-teman yang membantuku, segera aku pulang ke rumah untuk menyusun rencana belajar agar lebih optimal. Aku tidak mau menyia-nyiakan yang temanku berikan, aku juga harus membuat bangga mereka dengan cara lolos perguruan tinggi. Atas kebaikan merekalah aku dapat belajar dan mendapat materi dari berbagai sumber. Sujud syukur pada Tuhan, pasti selalu ada jalan apabila kita punya keinginan. Setibanya di rumah aku langsung menunaikan ibadah, seraya berdoa dan merayu Tuhan agar semua keinginanku dikabulkan. Berseru pada Maha Pendengar, sambil menengadahkan tangan berharap Tuhan mendengar kegelisahanku. Derai air mata tak kunjung berhenti, aku memohon dengan sangat pada Tuhan demi kebahagiaan ayah dan ibu. Aku percaya bahwa mimpi akan berhasil apabila kita berusaha, berdoa, dan berikhtiar. Kini aku harus melakukan usaha dengan maksimal. 

Pada penghujung malam aku selalu terbangun, memohon ampun pada Tuhan dan merayu Tuhan di sepertiga malam. Memanjatkan semua doa-doa untuk mimpi yang ibu cita-citakan. Berharap semua kejadian dalam hidup selalu dikehendaki oleh Tuhan. Setelah larut dalam tangisan, aku segera belajar sambil menunggu waktu subuh. Aku selalu menyempatkan diri untuk belajar, waktu pagi sebelum berangkat sekolah, siang setelah pulang sekolah, dan malam hari. Aku berprinsip belajar itu tidak bisa jika dikebut, belajar harus melalui proses sedikit demi sedikit. Harapan orang tualah yang mendorongku menjadi seseorang yang gigih dan pekerja keras dalam belajar. 

Tiba-tiba pesan masuk dari Arunika, dia menawarkanku untuk menggunakan akun belajar online miliknya. Memang biasa orang kaya, daftar ke semua akun belajar sampai bingung ingin fokus sistem yang mana. Arunika memberikan akun belajar premium kepadaku. Senang bukan kepalang, akun premium sangat memudahkanku untuk mengakses semua modul belajar dan semua akses latihan soal. Tuhan terima kasih atas semua jalan yang telah engkau gariskan. Tiba-tiba Bagaskara juga memberiku akun belajar premiumnya, karena ia sudah mendapat paket soal dari bimbelnya. Tuhan betapa senangnya aku, bisa sama-sama belajar seperti teman-temanku yang berkecukupan itu. Aku merasa fasilitasku hampir sama dengan teman-temanku lainnya, sebagaimana mestinya aku harus sama pintarnya dengan mereka. 

Setelah itu aku membuka Instagram, kebahagiaanku kini berkali-kali lipat. Pemerintah mengumumkan bahwa tersedia jalur registrasi gratis bagi calon mahasiswa. Sesegera mungkin aku mendaftar. Ya, akhirnya beberapa menit kemudian aku terdaftar jalur gratis itu. Tuhan benar-benar  ini keajaiban yang luar biasa. Sekarang aku tidak perlu risau memikirkan uang registrasi dan buku modul, semua telah dipermudah tanpa aku mengeluarkan uang sepeserpun. Tuhan Maha Baik engkau yang telah menuliskan semua garis hidup ini. Kini di pikiran hanya fokus untuk belajar, tidak pusing lagi memikirkan buku dan membayar registrasi. 

Hari demi hari telah berlalu, aku masih belajar dengan keras dan berikhtiar untuk selalu berdoa dan merayu Tuhan. Ingat prinsip di awal untuk terus berusaha, berdoa, dan berikhtiar. Aku tetap mengingatkan diriku agar tetap ikhlas apapun yang terjadi ke depannya. Satu yang terpenting adalah aku sudah berusaha dengan keras, berdoa memohon pada Tuhan, dan pasrah pada kehendak Tuhan. Apapun yang terjadi memang semua telah digariskan. Lembar demi lembar soal yang ku kerjakan, kini menjadi saksi bisu kerasnya aku berjuang. Kamar yang sempit dengan tampilan sederhana, kini menonton aku berjuang dengan keras demi sebuah mimpi. Meja belajar selalu tersenyum melihat semangat dan usahaku yang kian membara. 

Hari demi hari menyelami soal-soal dan berbagai akun belajar. Bekerja keras kapanpun setiap waktu. Pikiranku hanya terpacu pada bagaimana aku lolos UTBK. Sedikit memaksa diri yang kadang terasa lelah ingin menyerah. Tapi dinding kamar selalu mengingatkan bahwa ada ibu yang harus dibanggakan dan ada sahabat yang harus dibalaskan kebaikannya. Memompa semangat terus menerus, kadang terasa hampir mampus. Lagi-lagi berdoa pada Tuhan untuk diberi kekuatan memperjuangkan semua ini. 

Hari semakin berlalu, tak terasa pelaksanaan UTBK sudah di depan mata. Ayah dengan kesabarannya mengantarku berkeliling kampus untuk mencari gedung pelaksanaan UTBK. Kadang sedih, memiliki ayah dan ibu yang sabar tetapi belum bisa banyak kebahagiaan yang kuberikan. Ayah dengan penuh keikhlasan mengantarku memasuki ruang pelaksanaan UTBK. Bergetar seluruh tubuhku, grogi, panik, dan sedikit cemas kini menghantui tubuhku. Berusaha memejamkan mata dan berdoa serta pasrah pada semua kehendak Tuhan. Melangkahkan kaki perlahan memasuki ruangan. Mengerjakan tes dengan sepenuh hati dan usaha yang telah dilalui. Lega, semua hasil dan proses yang telah kulalui kini kupasrahkan semua pada Tuhan. Menebalkan hati untuk ikhlas, mendengar pengumuman lolos dan tidak lolos. 

Menunggu pengumuman seraya berdoa terus-menerus pada Tuhan. Berharap semua jawabanku mengantarkan pada sebuah kesuksesan. Lagi-lagi masih merayu Tuhan agar langsung mengabulkan semua keinginan. Dinding kamar yang terasa dingin kini jadi saksi bisu kekhawatiranku yang mencekam. Kasur busa yang tipis kini jadi peristirahatan tubuh yang mulai melemah. Telentang dan berpasrah pada Tuhan dengan memandangi langit-langit kamar yang penuh dengan debu usang. Memikirkan betapa bahagianya ibu melihat hasil pengumuman tesku. Pasti ibu senang dan bangga, anaknya adalah calon sarjana pendidikan sama seperti yang sedang ibu impikan. 

Waktu yang ditunggu telah tiba, tanganku bergetar bukan kepalang. Badanku terasa melemah dan tak berdaya. Berserah diri pada Tuhan atas hasil yang sudah ditetapkan. Menunaikan sholat ashar sembari berdoa untuk terakhir kali meminta diloloskan. Menyiapkan mental untuk sebuah jawaban yang dapat merubah kehidupan. Pelan tapi pasti kubuka laptop dan web pengumuman. Bibir tak berhenti bergeming membacakan basmalah serta hati tak berhenti tuk berdoa. Tuhan sungguh indah rencana yang telah kau gariskan, terima kasih atas jalan yang telah kau tetapkan. Sujud syukur seraya meneteskan air mata yang membanjir. Berteriak pada ibu dan memeluknya bahwa aku lolos dan berhasil meraih semua mimpi ini. Ibu tak henti-hentinya meneteskan air mata dan memelukku erat. 

“Ibu bangga padamu nak. Maaf ibu tidak membantu apapun atas keberhasilanmu ini. Maafkan ibu membiarkan anaknya berjuang sendirian, padahal ini semua mimpi ibu. Jangan lupa berterima kasih pada Tuhan ya nak. Tuhan yang mengatur jalan ini semua. “

 

****

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *