Pelita dalam Gelap

Pelita dalam Gelap

Oleh: Gita Aprilia

“Terima kasih sudah membeli buku saya.” 

“Terima kasih sudah mengapresiasi karya saya.” 

“Terima kasih sudah hadir di acara Bedah Buku Bersama Arieta.”  

Hanya ucapan terima kasih yang sedari tadi mencuat dari mulutku. Bangga, tentu aku bangga dengan pencapaianku ini. Siapa yang menyangka seorang Arieta akan menjadi penulis yang karyanya sudah dicetak dan tersebar dimana-mana. Sosok yang moodnya tidak bisa ditebak kapan buruk dan baiknya sekarang sudah sukses menghasilkan karya yang diminati semua kalangan. Pencapaianku ini tak hanya sebatas karena kerja kerasku saja, tapi juga karena orang-orang terdekatku yang selalu memberiku motivasi. Acara malam ini tak hanya didatangi oleh keluarga dan teman-temanku, tapi ada beberapa awak media yang bersiap untuk meliput dan melontarkan beberapa pertanyaan kepadaku.

“Kak Arieta bisa menceritakan nggak asal usul kakak menjadi seorang penulis?” tanya salah satu jurnalis yang seketika membuatku mengingat masa itu. Ketika itu aku duduk di bangku kelas dua SMA. Aku memang suka menulis, menulis puisi, cerita pendek, tapi aku tak pernah memiliki pikiran untuk menjadi seorang penulis. Bukan tak minat atau tak suka hanya saja waktu itu aku terobsesi ingin bergabung di tim olimpiade yang ada di sekolah. Aku merasa jika aku bisa mewakili sekolahku di bidang olimpiade maka aku akan dikenal satu sekolah dan merasa keren dengan hal itu. Maka akupun mencoba untuk mengikuti seleksi olimpiade matematika. Tak ku sangka ternyata yang ikut seleksi tak hanya kelas dua saja tetapi siswa siswi dari kelas satu juga ikut berpartisipasi. Rasa khawatir di benakku mulai bergemuruh, tapi karena keyakinan bahwa aku pasti bisa rasa itu perlahan hilang. Guru pengawas sudah ada di kelas dan mulai melangkah membagikan soal kepada semua peserta. Dalam waktu 120 menit aku bisa mengerjakan 7 dari 10 soal yang diberikan, lumayan lah. Rasa khawatirku tak hanya berhenti saat itu saja, hingga tiba waktu pengumuman deg! “Arieta – XI MIPA 4 – Lolos Seleksi,”gumamku. Wow! Aku cubit tanganku berkali-kali untuk memastikan bahwa ini nyata dan ya ini bukan mimpi. 

“Lalu apa yang menyebabkan kakak bisa beralih bidang?” pertanyaan yang semakin membuka mata dan pikiranku untuk menelusuri kembali masa itu. Mengetahui hal itu pembimbing akademikku sangat antusias dan memberiku dukungan serta doa agar aku bisa mewakili sekolah di tingkat kabupaten, provinsi, bahkan nasional. Aamiin. Kata itu tak henti-hentinya keluar dari mulutku. Setiap hari aku diberi motivasi dan materi terkait olimpiade yang aku pilih, matematika. Bertepatan sekali Pak Imam, pembimbing akademikku merupakan guru matematika yang cukup sulit dalam memberikan soal ujian kepada anak didiknya. Tak salah bila aku terus diberikan soal-soal tingkat kabupaten untuk membiasakan diri dalam menghadapi olimpiade nanti. Tepat tanggal 12 Februari 2018, seleksi tahap dua olimpiade matematika dilaksanakan. Pak Imam terus meyakinkanku bahwa aku sudah banyak berlatih selama ini, berikan yang terbaik dan pasrahkan semuanya kepada Allah SWT. Anehnya perasaanku saat itu biasa saja, tidak khawatir seperti seleksi tahap pertama dulu. Mungkin benar kata Pak Imam, aku sudah banyak berlatih selama ini jadi mungkin ini yang membuatku merasa biasa saja. Dua jam berlalu aku bisa mengerjakan 3 dari 5 soal yang ada, lumayan lah. Tapi, aku merasa kesulitan tadi selama menjawab dan aku tak begitu yakin akan lolos. Tanggal 14 Februari 2018, hasil seleksi sudah ditempel di papan pengumuman dan terkejutnya aku namaku tidak ada disana. Sedih. Hancur. Tak percaya. Padahal selama ini aku sudah berlatih  begitu keras dan apa yang kudapat tak sesuai yang kuperjuangkan. Aku begitu marah, sedih, kecewa. Ingin rasanya ku marah, tapi pada siapa. Sekali lagi, Pak Imam yang mengetahui hal itu berusaha untuk menenangkanku dan berkata pasti ada hikmah di balik ini semua, rezekiku bukan disini. Hanya senyum tipis yang bisa kuberikan saat itu. 

“Apa yang terjadi pada kakak setelah kejadian itu? Apakah itu adalah awal kakak beralih menjadi seorang penulis?” senyumku mengembang mendengar pertanyaan itu. Setelah saat itu aku selalu murung. Biasanya aku aktif berbagai kesempatan, sekarang aku lebih memilih untuk diam dan menyesal kenapa aku tidak bisa menjadi bagian dari olimpiade matematika. Setiap saat aku selalu menyalahkan diriku sendiri. Kecewa yang teramat berat pada diriku. Dan sekali lagi, Pak Imam yang mengetahui kondisiku yang kian hari kian memburuk berusaha menghiburku dengan guyonan recehnya. Dan lagi-lagi hanya senyum tipis yang bisa kuberikan padanya. Terlihat jelas dari raut wajah Pak Imam yang khawatir dengan kondisiku. Beliau mencoba memotivasiku perlahan, membimbingku untuk bangkit dari kegagalanku, mengangkatku dari keterpurukanku, dan menyarankanku untuk menuangkan semua perasaanku dalam bentuk tulisan. Yah, Pak Imam berkata saat dia sedang sedih, stress, marah dan tak tahu harus meluapkannya pada siapa, beliau selalu menulisnya. Beliau tulis semua apa yang dirasakannya dan dengan begitu beliau merasa lega. Setelah memberiku saran Pak Imam lalu pergi memberiku ruang untuk memikirkan perkataannya tadi. Perlahan ku ambil secarik kertas dan mulai menuangkan perasaanku ke dalamnya. Aku begitu larut dalam tulisanku hingga aku sadar aku sudah menghabiskan 4 lembar kertas dan semua penyesalan serta rasa bersalahku. Benar kata Pak Imam, dengan menulis aku bisa meluapkan semua perasaanku. Dan sekali-kali lagi, Pak Imam yang melihat kondisiku jauh lebih baik mencoba untuk membawaku ke hal baru. Hasilkan banyak karya dari tulisanmu, kata beliau. Aku yang mendengar perintahnya langsung bergegas. Tak ingin menyia-nyiakannya. Dalam satu minggu aku menghasilkan dua karya. Karya itu kucoba berikan kepada salah satu guru Bahasa Indonesia yang ku kenal dekat. Karya pertama belum ada komentar, begitu juga dengan karya kedua. Aku menunggu sepatah kata yang keluar dari mulut guruku itu, tapi yang dia berikan hanya tatapan serius kepada kertas yang dipegangnya. Setelah lama aku menunggu, karyamu lumayan tapi masih belum menarik perhatian pembaca. Coba kamu revisi kembali. Pak Imam yang ternyata mengetahui hal itu langsung mengangkat kedua jempol tangannya kepadaku. 

“Bagaimana perasaan kakak saat karya kakak dinilai kurang menarik perhatian pembaca?” dan lagi-lagi aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Pastinya ada rasa sedikit kecewa karena karya pertamaku dinilai kurang menarik. Tapi aku mencoba melihat dari sudut pandang yang lain mana ada bayi yang baru lahir bisa langsung berlari. Dia pasti melewati berbagai proses dari tengkurap, merangkak, berdiri yang belum tegap, berjalan yang setiap dua langkah pasti jatuh, hingga dia bisa berjalan dengan lancar dan terus bisa berlari. Di tahap ini aku merasa seperti bayi yang baru belajar merangkak, dengan terus berusaha aku pasti bisa untuk berdiri tegap sempurna. Hal yang perlu aku lakukan untuk mencapai itu semua adalah dengan terus menulis. Setiap tulisan yang sudah kuhasilkan pasti langsung ku setor kepada guru Bahasa Indonesia dan setiap saat itu juga progresku berkembang. Dan sekali-kali-kali lagi Pak Imam yang tahu akan hal itu memberiku selamat dan sebuah kejutan. Apa itu? Beliau menantangku untuk menulis sebuah novel yang nantinya akan dipublikasikan oleh pihak sekolah pada saat bulan Bahasa mendatang. Mataku terbelalak dan sangat terkejut. Bagaimana mungkin aku bisa membuat sebuah novel dalam waktu kurang dari 3 bulan. Keraguan sempat hadir di benakku, tapi bagiku ini kesempatan emas yang tak boleh disia-siakan. Akupun memutuskan untuk menerima tantangan itu. Setiap hari aku menulis dan merevisi kembali tulisan yang sudah kubuat, setelah kurasa pas kucoba untuk menyetorkannya kepada panitia bulan Bahasa. Tepat dua bulan aku bisa menyelesaikan novel pertamaku, dan Alhamdulillahnya panitia bulan Bahasa cocok dengan tulisanku sehingga bisa langsung dicetak. Tanggal 27 Oktober 2018, novel pertamaku dipublikasikan dan saat itu juga karyaku dikenal oleh seluruh sekolah. Bahkan banyak siswa yang penasaran dengan karya yang kubuat, mereka berbondong-bondong untuk membelinya. Rasa haru dan bangga bercampur jadi satu saat itu. Sejak saat itu aku terus menulis dan menghasilkan karya yang tak terbatas. (Dan) sekali lagi, Pak Imam memberiku saran agar karyaku coba dipublikasikan ke media luar siapa tahu ada penerbit yang mau meminang karyaku. (Dan) ya, sekali lagi aku mengiyakan saran dari Pak Imam. Setelah beberapa kali aku mengirimkan karyaku ke media sosial ada penerbit yang ingin meminang karyaku. Setelah kutelusuri dan mendapat izin dari orang tua akupun memutuskan menerima pinangan penerbit itu. Semenjak saat itu, karya Arieta sudah tersebar di seluruh toko buku di Indonesia. Sampai sekarang aku masih tak menyangka, jika bukan karena motivasi dari Pak Imam mungkin aku tidak akan bisa seperti ini.

“Jika memang berkat Pak Imam kakak bisa seperti ini, lantas di mana beliau? Apakah beliau juga hadir di sini?”Pak Imam saat ini sedang menikmati karyaku di sana, jawabku yang meninggalkan penuh tanda tanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *