Selamat Dirayakan, Kasihku!

Oleh: Naswatul Zulfania Arinda Pasha

Manusia terlalu angkuh untuk selalu meminta yang lebih, padahal diluar itu ada insan lainnya yang menginginkan hidup seperti ia yang merasa tak pernah cukup. Tak ada yang bisa memilih dari lahir akan hidup menjadi apa, tinggal di mana, oleh rahim siapa, mendapat kasih sayang yang bagaimana, lahir di tahun kapan, dan lain sebagainya. Mensyukuri yang telah diberi oleh Tuhan adalah sebuah seni dalam menghargai ciptaan-Nya. Makhluk hidup memiliki lemah yang perlu perjuangan agar beranjak menjadi kuat, memiliki kurang yang perlu kedamaian agar terlihat lebih, memiliki mimpi tinggi yang perlu dicapai, memiliki luka yang perlu disembuhkan, dan memiliki keinginan pada seseorang untuk merayakan serta menerima apa adanya dengan rasa tulus yang penuh kebaikan. Tak perlu risau untuk melakukan kebajikan, semua akan kembali pada diri sendiri dengan waktu yang sudah ditentukan. Penyesalan hadir saat kita tak menghargai yang ada karena sibuk mencari yang lebih. Haruskah meninggalkan berlian yang memiliki 90% hanya untuk mencari 10% pada berlian lain? Jawabannya adalah kau terlalu sombong untuk menuntut yang lebih. Aku Aluna, akan kuceritakan sedikit kisah tentang ia yang tak pernah lelah melengkapi kurangku dan melindungiku di antara badai yang akan menghancurkanku.

Kelas pagi ini sangat bising karena kedatanganku sebagai murid baru di sini. Alasanku pindah sekolah karena kontrakanku sudah habis masanya, sekarang kami hanya mampu tinggal di kos yang tak begitu luas dan bersyukurnya dekat dengan sekolah baru ini. Aku hanya tinggal bersama ayah, ibu sudah tenang di alam sana sejak aku masih sekolah dasar. Bukan pemandangan baru bagi gadis pemakai kursi roda sepertiku mendapat pandangan tak enak dan bisikan-bisikan cacian. Aku sudah berdamai untuk tetap membuka telinga mendengarkan omongan tak layak bagiku. Tak punya teman bukanlah masalah besar bagiku. Ketakutan terbesarku adalah apabila ayah meninggalkanku, dunia ini akan terasa tak ada artinya. Pekerjaan ayah serabutan, untuk bisa makan saja sudah lebih dari cukup.

Jam pertama telah usai, sekarang adalah jam istirahat. Berhamburan murid berlarian pergi ke kantin, sebagian tetap di kelas. Aku memilih duduk di kelas dan membuka kotak makan ku. 

“Heh anak baru, bekal tempe doang lu? Gak mampu lu?” Sekumpulan gadis yang berpenampilan nyentrik tiba-tiba mendatangi meja ku. 

“Ini udah lebih dari cukup kok,” jawabku dengan senyum simpul. 

“Halah gak usah banyak gaya lu, bapak lu pengangguran ya? Lumpuh juga?” tanya salah satu seorang di sana yang membuat aku mengepalkan tangan. Aku menggebrak meja saking tak terimanya perlakuan kali ini. Aku sanggup menerima apapun cacian untukku, tapi kalau itu untuk ayahku aku akan jadi orang pertama yang tak terima. “Jangan bawa ayah aku, ya! kamu kalo ngomong dijaga!” ucapku dengan sedikit nada marah yang berakibat bekal makan ku di jatuhkan olehnya. Mereka jahat, kita saja belum kenal. Setelah mereka puas mencaci ku, mereka pergi ke kantin. Rasanya kali ini sangat rapuh, perutku juga masih kosong. Aku membersihkan makan bekal ku yang berceceran dengan sapu dan pengki sambil masih duduk dengan kursi roda. Memang, berdamai dengan keadaan itu sebenarnya sangat susah. Tapi menyesali hal yang sudah terjadi juga tak ada gunanya. Sampah tadi akan aku buang di luar kelas. Baru saja keluar dari pintu, aku tertabrak oleh laki-laki yang habis berlari dari arah kantin. Sakit.. siku kiri ku terluka karena terjatuh dari kursi roda. “Lu lihat-lihat dong, udah lumpuh masih nyusahin orang aja. Punya mata gak? Dipake!” ucapnya penuh penekanan. 

“Jevan, apa-apaan lu?” teriak orang di seberang sana yang mendekat ke arah kami. “Apa? Mau jadi pahlawan lu? Urus aja cewek ini noh. Menghalangi pandangan gue aja.” Setelah berucap seperti itu, Jevan masuk ke kelas. 

Aku dibantu kembali duduk di kursi roda ku oleh seseorang tadi. Pandangan kami bertemu, entah kenapa jantungku berdebar nyaring sekali. Netra nya sangat teduh dan senyum nya sangat memikat hati. “Kamu gapapa? Aku kok gak pernah lihat kamu ya? Anak baru kah? Oh iya kenalin namaku Rajendra,” tutur kata yang enak sekali didengar, ia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya dan aku menerima dengan kikuk. 

“Aku Aluna kak, murid baru. Sekarang tinggal di kos tepatnya di gang tiga dekat dengan sekolah ini kak.” 

“Lohhh, Itu kos milik bunda aku donggg. Rumahku di samping situ. Pantesan bunda kemarin lusa bingung nyari kunci kos. Anyway panggil nama aja, kita seangkatan kok. Kamu sekelas sama Jevan kan? yang cowok tadi barusan.” 

Aku sangat terkejut dengan penjelasannya, kenapa? Selama aku sekolah tak pernah sama sekali berbicara sebanyak ini dengan isi positif. “I-iyaa jeeen, eh siapa tadi namanya? Gavendra? Eh? Siapa ya hehehe,” tanya ku sangat gugup dan dibalasnya dengan kekehan kecil. 

“Lucu banget kamu, kaya nama nya. Maafin Jevan ya, orangnya emang emosian apalagi pas lagi basket.” Pipi ku merah merona mendengar kalimatnya. “Oh jadi Vendra ikut basket ya?” 

“Hahahah Rajendra, Lun. Udah aku mau balik kelas. Kalau Jevan kasar lagi, bilang aku ya!” Untuk pertama kali dalam seumur hidup ada seseorang yang menawarkan kebaikan padaku. Hatiku terenyuh, masih ku ingat betapa netra nya mengunci kesadaranku. Senyumnya manis, hati nya baik.

Hari selalu terasa berat untukku, hinaan adalah makananku sehari-hari. Bel pulang telah menunjukkan waktunya, aku keluar kelas dengan hati-hati. “Heh anak baru, gak di urus orangtua lu ya sampe lumpuh begitu.” Aku terlonjak kaget saat mendengar teriakan dari lantai atas kelasku. “Jangan bawa orang tuaku ya! sudah besar kak, tolong dijaga omongannya!” ucapku dengan pandangan tak mengenakan. Di sana ramai orang yang melihatku di caci maki, namun hanya memilih untuk menonton saja. 

“Lu kok makin ngelunjak ya? Siapa lu nyuruh gue? Dasar miskin,” setelah berucap begitu, mereka menyiram air dari botol minum mereka dari lantai atas. Aku hanya sedikit menghindar, jadi belakang rambutku tetap kena siram. 

“Lun!” tiba-tiba Rajendra berlari ke arahku dan memarahi mereka yang mengusikku hingga ia mengancam akan melaporkan ke pihak berwajib. “Eh jen aku gapapa kok hehehe sudah biasa.” ucapku sembari mencopot kuncir rambutku dan mengibas-ibaskan rambut panjangku yang hitam badai. 

“Cantik.” ucap Jevan dalam hati. Jevan sedari tadi juga menonton kejadian ini di samping pohon depan kelas yang sedikit jauh dariku. Rajendra terdiam dan melihatku tanpa berkedip. 

“Jeen, kenapa? Kamu nggak pulang?” tanya ku sambil menatapnya yang malah membuat ia semakin kikuk. 

“Eh? oh iya kamu pake jaket aku dulu ya? biar ga kedinginan.” 

“Ngga usa Jen, kamu pake aja.” Rajendra tetap memaksaku untuk memakai jaketnya dan menyuruhku untuk diantar pulang karena searah. Di perjalanan pulang kami mengobrol tentang banyak hal, tentang mengapa kaki ku lumpuh, tentang ayahku yang menyayangiku, dan Rajendra yang bercerita tentang sekolah baruku itu. Sedang asik bercerita tiba-tiba perutku berbunyi menandakan lapar, Rajendra mendengar itu dan menertawaiku dengan puas. Saat sampai di depan rumahnya ia mendorong kursi rodaku untuk masuk menuju rumahnya. 

“Loh, jen? aku mau balik kos. Kenapa kok-” ucapku terbantah olehnya, ia meminta ku untuk berkenalan dengan bundanya. Bundanya menyambutku dengan pelukan hangat. Entah mengapa aku langsung bercucuran air mata, sangat lama rasanya tak ada di posisi ini. 

“Eh? Aluna kok menangis?” tanya bunda dengan mengelap air mata ku dengan lembut. 

“Gapapa tante, Aluna hanya rindu Ibu.” Mendengar itu Rajendra mengelus puncak rambutku. 

“Aluna sayang, panggil bunda aja ya? Gapapa kok. Aluna boleh bercerita apapun sama bunda atau Rajendra. 

“Eh? i-iya bun.. maaf banget ya jadi sedih begini.” 

“Gapapa Aluna, bunda paham kok.” ucap bunda lalu mencium keningku. 

“Aku boleh cium Luna juga ga bun?” tanya Rajendra disertai senyum miring. 

“Heh, enak aja. Gaboleh!” 

“Abisnya Luna cantik banget bun.” 

“Eh?” ucapku dan bunda barengan karena terkejut dengan ucapan Rajendra. 

“Kan Luna perempuan bun, makanya cantik.” jawab Rajendra sembari menggaruk leher dengan canggung. 

“Halah kamu bisa aja, oh iya bunda tadi masak ramen. Ayo cobain!” 

“Ramen itu apa bun?” tanyaku dengan polosnya. 

“Lun, serius kamu gatau ramen?” 

“Heheheh, aku paling mewah hanya makan ayam laos.”

Pagi ini sangat cerah sekali. Aku sangat bersemangat menjalani hari ini walau ada sedikit ketakutan yang melanda karena hari pertama masuk kemarin sudah banyak kejadian. Hari ini sarapan roti bersama ayahku tercinta. Di pagi hari sebelum kami berangkat akan selalu ada obrolan hangat kecil yang menyenangkan. Tiba-tiba ada suara ketukan pintu yang ternyata itu adalah Rajendra. Rajin sekali ia bertamu di pagi hari ini. 

“Om, hehehe. Hari ini Luna biar saya yang antar ya? Besok-besok juga gapapa banget.” 

“Loh silakan masuk dulu nak Jendra, sudah sarapan belum?” 

“Eh tidak usah om, sudah kok. Tadi bunda juga bikin bekal lebih, sengaja biar bisa di makan bareng Luna.”  

“Baik banget kamu nak, titip Luna ya?” 

“Siap, laksanakan om!” ucap Rajendra lalu kami berpamitan pada ayah. 

“Jeen, pagi banget kamu?” tanyaku heran. 

“Sengaja Lun, biar bisa lama ketemu nya,” jawabnya terkekeh. 

“Maaf ya jen, jadi ngrepotin.” 

“Loh, gapapa Lun. Nanti istirahat bareng aja ya? sekalian temenin aku main basket.” 

“Tapi kamu ga malu gitu? Aku lumpuh loh Jen.” 

“Lun? kenapa malu? Emangnya kamu berbuat salah apa? Aku gak pernah malu Lun, mereka aja yang sirik lihat kamu.” Seperti yang sudah di janjikan, siang ini aku menemani Rajendra bermain basket di lapangan. Aku sudah pasti hanya bisa menunggu dan melihatnya dari sedikit kejauhan. “Weh bro, siapa tu cewek cakep bener.” 

“Iya cuy, adem banget liatnya.” 

“Anak baru gak si?” seperti itulah tanya beberapa anak yang berada di lapangan basket. 

“Cewek gue lah, awas lu deket-deket.” ucap Rajendra geram. 

“Busett, selowww bro.” kata teman Rajendra sembari memasukkan bola basket ke dalam ring. 

Tak lama Jevan datang, kita sempat bertukar pandang. Sedari tadi di kelas Jevan gemar sekali mengusikku. Ia menjatuhkan bolpoinku, mendorong kursi rodaku dengan alibi suruh menghindar, dan menjambak pucuk rambutku. Entah apa yang merasukinya sampai sebegitu bencinya ia padaku. Rajendra berlari ke arahku, lapar katanya. 

“Lun, suapin dong.” ucapnya sambil berjongkok di bawahku. 

“Jen, jangan kaya anak kecil.” setelah mendengar itu Rajendra merengut. “Ya ampun Jen. Yaudah sini buka mulutnya, Aaaaaa.” Rajendra menggemaskan, kami makan diselingi canda tawa. Di samping itu, Jevan memandang sinis hingga saking fokusnya mengomentari ia kena lemparan bola tepat pada belakang punggungnya. 

“Woi, Jev! Abisnya lu di panggil ga nyaut-nyaut.” ucap Gio 

“Apaan si lu, bukan urusan lu juga.” jawab Jevan semakin sinis. 

“Heh Jen, lu kalo mau romantisan pilah-pilih cewek ngapa. Masa modelan gini inceran lu?” teriak Jevan. 

“Sirik banget lu, cemburu?” Rajendra tak mau kalah. 

“Dih, ogah. Amit-amit.” Jevan berucap dengan lantang.

Dua minggu ini aku dan Rajendra semakin dekat. Kami hampir setiap hari berangkat dan pulang sekolah bareng. Bundanya rutin membuat bekal untuk aku makan berdua bersama Rajendra. Baik sekali bundanya, kerap kali ia juga membelikanku sesuatu setelah ia belanja di pasar. Rasa rinduku pada ibu sedikit terobati karena hadirnya bunda. Ayahku juga lebih dekat dengan ayahnya Rajendra. Tiap malam mereka bercengkrama di teras rumah dengan dua cangkir kopi hitam dan gorengan. Aku merasa duniaku kembali hidup. Jevan masih terus saja mengusikku entah di kelas, di perpustakaan, hingga saat pulang pun ada saja yang ia lakukan. Untuk cacian dari orang sekitar memang masih belum sepenuhnya hilang, tapi aku terlalu buang-buang tenaga untuk larut dalam sedih tentang hal itu. Aku menerima diriku sepenuhnya. Hari ini aku sedang berada di taman sekolah bersama Rajendra. Entah kenapa kali ini suasananya begitu canggung hanya karena ungkapan cinta darinya. “Lun, aku merasa ini terlalu cepat. Entah kenapa aku selalu nyaman di dekatmu. Aku suka sekali dengan senyummu dan rambutmu yang indah itu. Andai kata aku suka sama kamu, boleh?” ia berbicara dengan tak menatap mata ku. 

“Jen? Kamu yakin? Aku lumpuh loh Jen. Kurangku masih banyak. Aku takut bikin malu kamu. Aku-” belum sempat melanjutkan bicara, ia memotongnya dengan bersimpuh di depanku. 

“Aluna, kamu cantik. Hanya kamu yang bisa membuka pintu hatiku. Aku juga gak tau. Sejak pertama ketemu kamu rasanya jantungku tak berhenti berdebar lebih kencang. Kamu memahamiku, Lun. Kamu orang paling sabar setelah bunda yang paham di saat aku marah. Kamu menenangkan sedihku. Walau masih singkat saja pertemuan kita, tapi aku merasa selama kenal kamu jadi lebih bahagia. Kamu menerima semua tentang kamu, Lun. Latar belakang kamu, keluarga kamu, sifat kamu, dan semua tentang kamu akan aku rayakan. Percaya sama aku ya? Aku gak akan meninggalkan kamu. Aku akan selalu melindungi kamu di antara mereka yang ingin menjatuhkan kamu. Kamu berharga buat aku. Jadi kekasihku aja ya?” 

Pernyataannya barusan membuatku menangis tersedu-sedu. Aku tak pernah menyangka akan di sambut seperti ini. Rajendra tak pernah mengeluh walau ia sering kali ikut dicaci hanya untuk melindungiku. Ia tak pernah meninggikan nada suaranya, tak pernah lelah mengajariku banyak hal, dan tak pernah sekalipun ia absen untuk melengkapi kurangku. Hatinya lembut, aku mengucap terima kasih berulang kali. Ia mengusap air mata ku dan tersenyum penuh ketulusan. 

“Ta-tapi ada syaratnya.” 

“Yahhhh. kok gitu sih, Lun.” 

“Kamuuuu…. harusss…. gendongg…. akuu…” Dengan gerak cepat ia mengendongku dan berputar-putar kegirangan. Rajendra, akan ku pastikan apapun tentangmu akan aku rayakan. Doa ku agar semua tingkah baikmu akan terbalaskan. Tanpa diketahui, Jevan sedari tadi menguping di belakang tembok. Hatinya retak, sebenarnya ia juga menyimpan rasa padaku. Hanya saja ia terlalu berat untuk mengungkapnya, karena ia takut akan menyakitiku. Hari-hari selanjutnya, Jevan tak pernah lagi mengusikku. Aku heran dan bertanya-tanya. Tapi tak apa, setidaknya penggangguku berkurang satu. Saat bermain basket aku pernah merasa saling pandang dan berbicara sembunyi. 

“Lu menang bro, jaga dia ya. Gue emang gak cocok bersanding sama dia.” 

“Udah jelas itu mah, aman. Kenapa? suka lu ama Aluna?” tanya Rajendra barusan mendapatkan sedikit pukulan dari Jevan. 

“Dih, apa-apaan. Yakali.” 

“Alah gausah boong deh lu, bener kan?” 

“Cih.” Jevan bereskpresi sok dan melanjutkan permainan basketnya. Aku mendengar percakapan mereka karena yang tadinya bisik-bisik ternyata lama-lama terdengar juga. Mungkin mereka tak sadar. Saat sepulang sekolah, aku selalu setia menunggu Rajendra di depan kelas. Jevan kebagian piket saat itu, makanya tinggal dia sendirian di dalam kelas. Aku masuk lagi ke dalam kelas untuk menyapanya. “Jev!” 

“Apa lu? Gak usah ganggu!” 

“Gapapa Jev, dikurangi ya marah-marahnya.” 

“Siape lu nyuruh-nyuruh gue?” 

“Woi cewek gue lu apain, Jev!” teriak Rajendra yang membuatku menoleh cepat. 

“Gak ngapa-ngapain gue, buset dah. Galak lu!” Jevan tak terima dengan pernyataan Rajendra sembari menghapus papan tulis. 

“Yaudah sih, nanya doang. Sensi mulu lu.” 

“Urusan gue lah, noh bawa pergi cewek lu. Ganggu gue piket aja.” 

“Sekali lagi lu ngatain cewek gue, abis lu.” 

“Lah, nantangin lu?” 

“Hei udah, bisa ga si kalian ini damai gitu. Jeen, ayo pulang beli es krim.” 

“Laksanakan, princess.” Rajendra mendorong kursi rodaku keluar kelas dan meninggalkan Jevan sendiri di kelas. 

“Lun, emang ya. Nyesel banget gue dari awal kasar sama lu. Gue kapok, gue sekarang suka sama lu. Tapi sekarang lu udah milik orang lain. Gue cuma bisa doain yang terbaik aja. Bahagia terus ya, Lun. Lu kalau senyum cantik bener.” monolog Jevan sembari merapikan bangku kelas yang kurang rapi. 

Dunia memang penuh keajaiban, tak ada yang bisa menebak hari esok akan ada kejadian apa. Kunci bahagia letaknya ada pada keikhlasan diri sendiri. Sambutlah segala hal baik sekecil apapun. Tunjukkanlah kepada dunia bahwa kau pantas dicintai dengan setulus-tulusnya. Aku mencintaimu, Rajendra!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *