Hadiah untuk Mira

HADIAH UNTUK MIRA

Oleh: Agnes Tiara Sabila

Senja perlahan bergulung, berganti menjadi benda bercahaya yang menjadi penerang bumi ini, setidaknya itu yang pernah kubaca dulu. Aku merasa beruntung sekali karena dipertemukan dengan orang baik yang penuh dengan kasih sayang, perlakukan baik, bahkan perhatian yang mereka berikan tanpa memandang aku ini siapa. 

Sudah dua hari sebelum malam perayaan natal, tapi tetap saja sosok itu belum memberikan aku kabar. Ya, sosok itu adalah orang yang aku panggil ibu sejak dua tahun lalu. Sosok yang mampu memberikan aku kasih sayang dan perhatian yang tidak pernah aku dapatkan. Aku tidak pernah mengharapkan akan dipertemukan dengan sosok malaikat seperti dia. Aku pernah bertanya pada jutaan cahaya langit, katanya Tuhan itu adil tapi kenapa aku merasa seakan semesta memberi ejekan untukku. Setelah Tuhan mengambil orang tuaku yang bahkan rupanya saja aku tidak tahu, kini Tuhan juga mengambil kedua mataku. Namun, sekarang aku sadar bahwa bukan Tuhan yang tidak adil, hanya saja aku yang tidak membuka rasa untuk semua hal yang Tuhan berikan.

Aku baru tahu bahwa ia seoarang workaholic yang setiap kutanya alasannya selalu saja mengatakan kalau ini semua demi kesembuhan mataku, padahal aku juga tidak terlalu mengkhawatirkan itu. Baiklah mungkin besok pagi ibu akan menghubungiku dan akan sampai di rumah ketika sore hari, hanya itu yang aku pikirkan. Aku lalu ke kamar dan seperti biasa, setelah mendengar podcast, apalagi yang akan ku lakukan selain tidur, hanya itu aktivitas yang aku lakukan satu bulan ini. Bosan? Tentu saja.

Malam nanti adalah malam perayaan Natal dan sekarang sudah siang tapi ibu belum juga memberikan aku kabar. Padahal ibu sendiri yang bilang kalau ini akan menjadi natal pertama dan yang spesial, tidak tahu akan memberikanku hadiah apa. Akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mbak Ijah, tetangga sebelah yang diminta ibu untuk menjagaku jika ibu keluar kota untuk tugas.

“Mbak Ijah, mbak tau ibu pulang kapan?” Tanyaku.

“Wah, mbak enggak tahu Neng. Kenapa enggak ditelepon aja?”

“Udah mbak, tapi enggak diangkat. Padahal nanti malam sudah perayaan Natal.”

“Ya sudah ditunggu saja Neng, siapa tahu nanti sore sampai rumah.”

“Ya udah deh, aku balik ke kamar dulu, ya.”

“Iya neng, hati hati, ya.”

Sekarang aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Mendengar podcast sudah bosan, mendengar radio juga tidak ada informasi yang menarik. Tiba-tiba aku mendengar handphone ku berdering.

“Halo Ra, ini gue Ana.”

“Oh ya Na, kenapa?”

“Enggak ada apa-apa sih, cuma kangen aja sama lo.”

“Hah, bisa aja lo. Eh ya ngomong-ngomong gimana kuliah lo sekarang?”

“Ya gitu Ra, kemaren gue lagi sibuk banget ngurusin tugas, jadi baru bisa ngabarin lo sekarang. Gimana kabar lo Ra?”

“Baik-baik aja, lo gimana?”

“Gue juga baik.”

Dia Ana, temen yang ku kenal ketika di sekolah dulu, murid pindahan. Dulu sih aku enggak suka banget sama dia karena dia polos dan sabar banget jadi orang makanya aku sebel sama dia. Tapi, karena sifat sabarnya itulah yang membuat aku luluh. Kami mengobrolkan banyak hal hari ini sampai tak terasa sudah satu jam lebih kami membicarakan hal yang penting sampai ke yang tidak penting sekalipun. Akhirnya Ana memilih mengakhiri obrolan kami karena ada sesuatu yang mendadak yang harus dikerjakan.

Tok tok …

“Masuk aja Mbak Ijah.”

“Mira lagi ngapain?”

“Ibu?”

Aku mengulurkan kedua tanganku yang langsung dibalas pelukan hangat yang aku rindukan dua minggu ini.

“Ibu kenapa lama banget dan enggak ngabari aku atau Mbak Ijah. Aku khawatir banget takut ada hal yang gak terduga.”

“Maafin ibu ya, kemarin tugas ibu banyak dan baru selesai malem. Jadi, mau ngehubungi Mira takutnya Mira udah tidur.”

“Iya Bu, gak papa yang penting ibu udah pulang sekarang.”

“Oh iya, ibu pernah bilang kalau ini akan jadi Natal kamu yang spesial ‘kan?”

“Ah ya, inget. Emangnya ada apa?”

“Ibu punya hadiah spesial buat Mira, ayo Mira buka hadiahnya!”

Aku pun membuka hadiah yang ibu berikan dan mengulurkan tanganku untuk menyentuh bintikan timbul itu. Aku membacanya. Aku tahu hadiah apa itu. Aku tidak sadar kalau butiran cair di pelupuk mataku akhirnya lolos juga. Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan menjadi orang paling beruntung di dunia ini. Aku menyalahkan Tuhan untuk ketidaksempurnaan yang aku miliki tanpa menyadari bahwa Tuhan juga memberikan aku sesuatu untuk menutup ketidaksempurnaan itu.

“Ibu enggak perlu memberikan aku hadiah sebesar ini, karena ibu sendiri merupakan hadiah yang terbesar yang Tuhan kirim untuk aku. Ibu enggak perlu berusaha mengambil pengobatan itu hanya untuk aku. Aku merasa baik-baik aja asal ada ibu di samping Mira”

“Mira, kamu tau enggak kenapa ibu mengubah nama kamu dari nama sebelumnya?”

Aku hanya menggeleng sebagai jawaban

“Karena kamu adalah keajaiban untuk ibu, seperti nama kamu, Miracle. Kamu melengkapi hidup ibu, kamu menjadi penyemangat ibu walau kamu bukan berasal dari darah daging ibu.”

“Terima kasih Bu. Ibu adalah seseorang yang sempurna yang Tuhan ciptakan untuk Mira.”

…..SEKIAN…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *