TAHLILAN

TAHLILAN

Oleh: Avif Nur Aida Aulia

Surat Yaasiin terdengar lamat-lamat dari mulut Ibu. Padahal seingatku, Ibu adalah tipe orang yang bacaannya nyaring saat mengaji. Duduk berseberangan dengan Ibuk membuatku leluasa memperhatikannya. Mataku bolak-balik antara buku Yaasiin dan Ibu. Duduk tegap pasti membuat tubuh tuanya capek. Mestinya ia bersandar saja ke tembok di belakangnya. Namun ia tak kunjung melakukannya, seteliti apa pun aku memantau. Mungkinkah ia khawatir kalau cat tembok rumah kami yang sudah mengelupas itu menempel ke punggung bajunya? Mungkinkah ia mengkhawatirkan hal semacam itu, sambil khusyuk membaca Yaasiin untuk Bapak?

Enam hari usai kematian Bapak, tetangga yang hadir untuk tahlilan tak sebanyak hari- hari sebelumnya. Buku Yaasiin yang dipinjam dari masjid tersisa banyak di sudut ruang tamu. Aku tidak kecewa, selama segelintir orang yang hadir sungguh-sungguh mendoakan Bapak. Karena rasa-rasanya … aku tak pantas mendoakannya. Malam itu masih saja ada tetangga yang pangling melihatku. Pemuda yang tiga tahun lalu meninggalkan kampung ini untuk kuliah, kini pulang saat Bapaknya sudah tidak ada. Sang bapak menghabiskan hidupnya untuk bekerja di sawah hingga kulitnya terbakar sinar matahari, sementara anaknya kuliah di kota, tidak pernah pulang dan tidak pernah memberikan apa-apa. Kira-kira itulah yang mereka pikirkan. Aku yakin, biasanya mereka tak pernah mengingatku. Kepulanganku setelah tiga tahun seketika menjadikan mereka panitia ajang penghargaan, di mana aku adalah pemenang tunggal dari banyak nominasi: Anak Terdurhaka, Anak Terlupa Diri, Anak Tertega, dan lain- lain.

Tiga tahun lalu, aku pergi dari kampung ini karena mimpiku dan mimpi Bapak jauh berbeda. Bapak adalah orang yang kelewat sederhana. Saban pagi ia berangkat ke sawah, memakai kaus partai dari pemilu tahun 2014. Ia bukan simpatisan apalagi anggota partai itu, tapi kausnya menjadi dresscode wajib saat bekerja. Tidak ada alasan heroik. Ia hanya mengkhususkan kaus itu untuk kotor-kotoran di sawah. Sebagaimana warga kampung yang lain, Bapak punya sedikit lahan sawah peninggalan orang tuanya. Sepetak sawah itu menanamkan kepercayaan diri yang berlebihan pada diri Bapak, sehingga ia bermimpi menjadi petani besar. Meski begitu, Bapak tetaplah orang kampung yang sudah puas hanya dengan membawa pulang hasil tani yang tak seberapa. Sifat Bapak yang gampang puas itu, tanpa ia sadari membuat keluarga kami serba kekurangan.

Tak kunjung berhasil, Bapak pun berusaha menitipkan mimpinya menjadi petani besar kepada aku, anak semata wayangnya. Dengan tegas, aku menolak dititipi mimpi itu. Aku tidak mau seperti Bapak. Aku punya mimpi yang jauh lebih besar dan lebih meyakinkan. Mimpi yang tak akan dimengerti oleh orang-orang kampung. Mimpi yang hanya bisa dijemput jika aku bergelar sarjana. Bapak tentu saja tidak mendukung mimpiku. Lebih tepatnya ia tak punya cukup uang untuk itu. Lalu untuk menjaga harga dirinya, ia bilang bahwa kuliah hanya buang-buang waktu.

Dengan tekad mengalahkan Bapak, aku menyelesaikan SMA-ku dengan baik, lebih baik dari anak-anak lain di kampung ini. Bapak memujiku ketika tahu bahwa aku menjadi lulusan terbaik di sekolah, tetapi mencelaku ketika tahu bahwa aku bolak-balik ke Kantor Kepala Desa untuk mengurus surat keterangan tidak mampu demi beasiswa. Lagi-lagi, Bapak menjaga harga dirinya dengan menyangkal bahwa kami ini miskin. Tanpa menggubris Bapak, aku pergi dari kampung ini begitu salah satu universitas menerimaku. Sejak itu, aku berencana untuk tidak pulang ke rumah sampai lulus kuliah dan mendapat pekerjaan mapan. Rencana itu ternyata harus kulanggar karena Bapak tiba-tiba meninggal. Begitulah sampai  aku akhirnya tiba di kampung ini, sehari setelah kematian Bapak, meninggalkan garapan skripsiku yang sedikit lagi jadi.

Begitu tahlilan selesai, dua orang segera menghampiri Ibu. Aku ingat, mereka adalah Pak Wakri dan Pak Mus, kawan-kawan Bapak sesama petani. Melihat mereka tampak serius, aku pun mendekat. Pak Wakri menyodorkan sebuah kertas dengan beberapa tanda tangan di atasnya. Sejenak kemudian aku tahu duduk persoalannya. Kawan-kawan Bapak sedang membuat petisi untuk menolak jual-beli lahan di kampung ini. Karena Bapak keburu meninggal, mereka pun meminta Ibuk atau aku yang menandatangani petisi itu.

“Saya ndak ngerti beginian, lho, Pak,” kata Ibu.

“Tapi  sampeyan  tau,  kan,  Yu,  kalau  almarhum  sayang  sama  lahannya?  Yo  pasti  dia

ndak mau njual, to?” ujar Pak Wakri.

“Yo, memang….” Ibuk memandangku sebentar, lalu mengambil pulpen yang disiapkan

dan bermaksud menandatangani petisi itu. Namun, aku segera menghentikan Ibuk.

”Kalau kami nggak tanda tangan, kenapa, Pak?” tanyaku.

“Waduh, memangnya kenapa, Dik?  Petisi ini, kan, bentuk solidaritas petani di sini … biar orang-orang kota itu berhenti maksa kita buat njual, Dik,” terang Pak Wakri.

”Iya, tapi keputusan jual atau nggak itu tergantung masing-masing keluarga, to?  Saya, sih, berpikiran sebaiknya lahan Bapak saya itu dijual saja, toh selama ini nggak menghasilkan,”

Ibuk, Pak Wakri, dan Pak Mus saling melempar pandangan.

“Kalau begitu … sama saja mengkhianati petani yang lain, Dik,” Pak Mus angkat bicara.

“Loh … Kalau begitu apa bedanya, Pak, orang-orang kota itu memaksa Bapak-Bapak sekalian untuk menjual lahan, dan Bapak-Bapak sekalian memaksa saya untuk tanda tangan petisi?”

Ibuk memegang lututku, mengisyaratkan agar aku menahan diri atau apalah, tapi aku tidak peduli.

”Begini,  Pak.  Soal  Bapak  saya  yang  sayang  sama  lahannya,  itu  memang  benar.  Tapi saya kenal Bapak saya. Selama ini, dibanding menyejahterakan, lahan itu justru banyak menyusahkan kami.” lanjutku.

Pak Wakri geram, “Kalau soal kenal-mengenal, bukannya kami yang lebih kenal Bapakmu? Kami berjuang sama Bapakmu dari nol, dari kamu belum lahir. Waktu kamu kuliah di kota dan ndak pernah pulang, kami selalu ada di samping Bapakmu. Sampai Bapakmu meninggal … kami yang memandikan dan menyolati. Bukannya kami yang lebih kenal Bapakmu?”

Kini giliran Pak Mus yang memegang lutut Pak Wakri.

Pak Wakri dan Pak Mus membuatku merasa tolol. Malam itu, mereka pergi dari rumahku tanpa mendapatkan tanda tangan karena Ibu bilang dirinya akan berdiskusi denganku dulu. Apa yang disebut ‘diskusi’ itu sejatinya adalah proses cuci otak. Setelah Pak Wakri dan Pak Mus pergi, Ibuk berusaha meyakinkanku bahwa lahan Bapak memang sebaiknya dipertahankan. Aku sendiri heran, bukankah biasanya Ibu selalu berada di pihakku? Bahkan ketika aku memutuskan untuk kuliah, Ibu mendukungku dan melawan Bapak. Lahan tidak berguna itu … bukankah lebih baik dijual dengan harga yang bagus? Ibu bisa menikmati hari tua dengan uang itu, sembari menerima uang hasil kerjaku di kota, atau sekalian saja tinggalkan kampung terbelakang ini dan ikut ke kota bersamaku. Bukankah dengan begitu, masa depan kami akan lebih baik?

“Kita ini serba kekurangan karena cuma tani, Bu!” kataku.

”Memang kekurangan apa yang kamu rasakan? Ibu dan Bapakmu ndak pernah merasa kekurangan. Kamu merasa gitu karena yang kamu lihat selalu orang-orang di atasmu. Serakah, Le,” Ibuk tampak mau menangis.

Aku diam. Kami berdua duduk di sudut ruang tamu, ditemani lalat-lalat yang hinggap di pisang goreng sisa tahlilan. Tangan Ibu sibuk mengusir lalat sekaligus mengusap air matanya yang keluar. Aku sayang Ibuku. Sejenak kemudian kusadari bahwa selama tiga tahun ini, ia selalu berusaha menghubungkanku dengan Bapak. Tiap kali ku telepon, ia selalu mengabarkan tentang Bapak meski aku tak pernah bertanya. Dari Ibu aku tahu bahwa Bapak selalu membangga-banggakan aku di hadapan kawan-kawannya. Meski aku tidak ada di rumah, tampaknya Bapak masih berusaha keras menjaga harga dirinya. Awalnya aku membenci kemunafikan Bapak. Akan tetapi malam ini, rasa benciku jadi bubar dan tak jelas arahnya ke mana. Sekecewa apapun Bapak padaku, ia tetap melindungiku di hadapan orang- orang. Mungkinkah jauh dalam lubuk hatinya, ia mendoakan mimpiku terwujud?

Ibu berdiri sambil membawa pisang goreng sisa ke dapur. Aku yakin Ibu akan menyimpannya untuk digoreng lagi besok pagi. Sudah jadi kebiasaan Bapak, makan pisang goreng tiap pagi. Aku teringat ucapan Pak Wakri. Bahkan di saat-saat terakhir Bapak pun, aku tak ada di sampingnya. Perlombaanku dengan Bapak berakhir tanpa kejelasan. Padahal selama tiga tahun ini, aku selalu membayangkan betapa malunya Bapak jika aku pulang ke rumah dalam kondisi sukses. Aku sangat menanti-nantikan momen kemenanganku itu, dan Bapak harus melihatnya. Akan tetapi malam ini aku ragu, apa artinya kemenangan yang tak tahu malu seperti itu? Minggu depan aku sudah harus meninggalkan kampung ini lagi; kembali ke kampus untuk bimbingan. Skripsiku itu setidaknya harus selesai, bukan untuk mempermalukan Bapak, tapi untuk membuatnya bangga.

Ibu kembali ke ruang tamu untuk mengumpulkan piring-piring kosong. Aku bangkit dan  membantunya. “Besok  …  Pak  Wakri  sama  Pak  Mus  ikut  tahlilan  lagi,  kan?  Kita tandatangani besok,” kataku pada Ibu. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *